TEA-BOKS

Posted: Agustus 7, 2018 in Uncategorized

1289257879tata-ruang-kota1.jpg

modul-penyusunan-rdtr-kabupaten-kota
RDTR merupakan rencana yang
menetapkan blok pada kawasan modul-penyusunan-rdtr-kabupaten-kota
fungsional sebagai penjabaran kegiatan
ke dalam wujud ruang yang
memperhatikan keterkaitan antar
kegiatan dalam kawasan fungsional agar
tercipta lingkungan yang harmonis
antara kegiatan utama dan kegiatan
penunjang dalam kawasan fungsional
tersebut.

RDTR disusun apabila :

a) RTRW kabupaten/kota dinilai belum
efektif sebagai acuan dalam pelaksanaan
pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang karena tingkat
ketelitian peta belum mencapai 1:5.000
b) RTRW kab/kota sudah mengamanatkan
bagian dari wilayahnya yang perlu
disusun RDTR-nya
* Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada
huruf a dan b tidak terpenuhi, maka dapat disusun
PZ tanpa disertai dengan penyusunan RDTR 

MASA BERLAKU RDTR
RDTR berlaku dalam jangka waktu
20 (dua puluh) tahun dan ditinjau
kembali setiap 5 (lima) tahun.
Peninjauan kembali RDTR dapat
dilakukan lebih dari 1 kali dalam
5 tahun, jika:
1. terjadi perubahan RTRW
kabupaten/kota yang
mempengaruhi BWP RDTR
2. terjadi dinamika internal
kabupaten/kota yang
mempengaruhi pemanfaatan
ruang secara mendasar antara
lain berkaitan dengan bencana
alam skala besar,
perkembangan ekonomi yang
signifikan, dan perubahan
batas wilayah daerah

(Penjelasan Batang Tubuh Permen PU No 11 Tahun 2011)

Prosedur penyusunan RDTR dan Peraturan Zonasi dibedakan menjadi 3 yaitu :
a. Prosedur penyusunan RDTR
b. Prosedur penyusunan Peraturan Zonasi (PZ) yang berisi zoning text untuk wilayah
perencanaan (apabila RDTR dan PZ disatukan)
c. Prosedur penyusunan Peraturan Zonasi(PZ) yang berisi zoning text dan zoning
map (apabila RDTR tidak disusun atau lebih dulu telah di perda-kan)
Proses penyusunan RDTR terdiri dari 5 tahapan besar sebelum ke tahap pembahasan
draft Raperda. Berikut diagram alur yang menggambarkan proses penyusunan RDTR.

modul-penyusunan-rdtr-kabupaten-kota

Peraturan Zonasi merupakan
ketentuan sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari RDTR. Peraturan Zonasi
memuat materi wajib yang meliputi
ketentuan kegiatan dan penggunaan

lahan, ketentuan intensitas pemanfaatan
ruang, ketentuan tata bangunan,
ketentuan prasarana dan sarana
minimal, ketentuan pelaksanaan, dan
materi pilihan yang terdiri atas
ketentuan tambahan, ketentuan khusus,
standar teknis, dan ketentuan
pengaturan zonasi
Prosedur penyusunan Peraturan Zonasi
meliputi 3 hal meliputi proses dan jangka
waktu penyusunan, pelibatan masyarakat,
serta pembahasan rancangan (Permen PU
No. 20/PRT/M/2011 pasal 6).
Peraturan Zonasi disusun apabila:
a) RDTR tidak disusun atau belum ada
RDTR
b) RDTR sudah ditetapkan sebagai perda
tetapi belum mengatur Peraturan Zonasi.
(Penjelasan batangtubuh Permen PU No. 20/PRT/M/2011) 

 

Sampingan  —  Posted: Oktober 26, 2016 in Uncategorized

 

PENATAAN RUANG

LOGO PENATAAN RUANG

pedoman penyusunan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Kabupaten

pedoman ini merupakan draft yang menurut sumber sudah 99,99% rampung tinggal disahkan

namun untuk sebagai pedoman penyusunan ini merupakan pedoman yang dapat dijadikan referensi

 

Taut  —  Posted: Maret 27, 2014 in Uncategorized

BIMTEK PUBLIKASI DAN KOMUNIKASI TA 2014
KOTA SURABAYA
MONUMEN KAPAL SELAM

Video  —  Posted: Maret 27, 2014 in Uncategorized

PP Nomor 8 Tahun 2013 tentang Ketelitian Peta Rencana Tat

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 8 TAHUN 2013

TENTANG

KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 ayat (7)
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang
Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang;

Mengingat : 1.  Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4725);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KETELITIAN PETA

RENCANA TATA RUANG.
BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Peta adalah suatu gambaran dari unsur-unsur alam dan
atau buatan manusia, yang berada di atas maupun di
bawah permukaan bumi yang digambarkan pada suatu
bidang datar dengan Skala tertentu.

2. Ketelitian Peta adalah ketepatan, kerincian dan
kelengkapan data, dan/atau informasi georeferensi dan
tematik, sehingga merupakan penggabungan dari sistem
referensi geometris, Skala, akurasi, atau kerincian basis
data, format penyimpanan secara digital termasuk kode
unsur, penyajian kartografis mencakup simbol, warna,
arsiran dan notasi, serta kelengkapan muatan Peta.
3. Skala . . .
– 2 –

3. Skala adalah perbandingan jarak dalam suatu Peta
dengan jarak yang sama di muka bumi.

4. Skala Minimal adalah Skala Peta Dasar terkecil yang boleh
digunakan dalam proses Perencanaan Tata Ruang.

5. Geospasial atau ruang kebumian adalah aspek keruangan
yang menunjukkan lokasi, letak, dan posisi suatu objek
atau kejadian yang berada di bawah, pada, atau di atas
permukaan bumi yang dinyatakan dalam sistem koordinat
tertentu.

6. Data Geospasial adalah data tentang lokasi geografis,
dimensi atau ukuran, dan/atau karakteristik objek alam
dan/atau buatan manusia yang berada di bawah, pada,
atau di atas permukaan bumi.

7. Informasi Geospasial adalah Data Geospasial yang sudah
diolah sehingga dapat digunakan sebagai alat bantu dalam
perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, dan/atau
pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan ruang
kebumian.

8. Unit Pemetaan adalah merupakan pembagian ruang
terkecil atau hierarki terkecil dalam suatu Peta Tematik
yang digunakan untuk menampilkan informasi tematik
dalam penyusunan tata ruang.

9. Perencanaan Tata Ruang adalah suatu proses untuk
menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi
penyusunan dan penetapan rencana tata ruang.

10. Rencana Tata Ruang adalah hasil Perencanaan Tata
Ruang.

11. Peta Dasar adalah Peta yang menyajikan unsur-unsur
alam dan atau buatan manusia, yang berada di
permukaan bumi, digambarkan pada suatu bidang datar
dengan Skala, penomoran, proyeksi, dan georeferensi
tertentu.

12. Peta Tematik adalah Peta yang menggambarkan tema
tertentu yang digunakan untuk pembuatan Peta rencana
tata ruang.

13. Data . . .
– 3 –

13. Data Batimetri adalah data garis khayal yang
menghubungkan titik-titik yang memiliki kedalaman yang
sama.

14. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis
beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya
ditentukan berdasarkan pada aspek administratif
dan/atau fungsional.

15. Peta Wilayah adalah Peta yang menggambarkan ruang
dalam kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait
yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan pada
aspek administratif dan/atau fungsional.

16. Badan adalah lembaga pemerintah non kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
Informasi Geospasial.

17. Delineasi adalah garis yang menggambarkan batas suatu
unsur yang berbentuk area.

18. Koridor adalah area sepanjang perbatasan yang dibatasi
oleh 2 (dua) garis sejajar dengan garis perbatasan dengan
jarak tertentu dimana garis perbatasannya menjadi garis
tengahnya.

BAB II

PERENCANAAN TATA RUANG

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 2

(1) Perencanaan Tata Ruang dilakukan untuk menghasilkan:
a.  rencana umum tata ruang; dan
b.  rencana rinci tata ruang.

(2) Rencana umum tata ruang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf a secara hierarki terdiri atas:
a.  rencana tata ruang wilayah nasional;
b.  rencana tata ruang wilayah provinsi; dan
c.  rencana tata ruang wilayah kabupaten dan rencana
tata ruang wilayah kota.
(3) Rencana . . .
– 4 –

(3) Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b terdiri atas:
a.  rencana tata ruang pulau/kepulauan;
b.  rencana tata ruang kawasan strategis nasional;
c.  rencana tata ruang kawasan strategis provinsi;
d.  rencana tata ruang kawasan strategis kabupaten;
e.  rencana tata ruang kawasan strategis kota; dan
f.  rencana detail tata ruang kabupaten/kota.

(4) Rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf b, huruf c, dan huruf d dapat berupa rencana tata
ruang kawasan perkotaan, kawasan perdesaan, dan/atau
kawasan lainnya yang ditetapkan sebagai kawasan
strategis.

Pasal 3

Rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata ruang
termasuk rencana tata ruang kawasan perkotaan, kawasan
perdesaan, dan kawasan lainnya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dituangkan dalam Peta Rencana Tata Ruang.

Bagian Kedua
Peta Rencana Tata Ruang

Paragraf  1
Umum

Pasal 4

(1) Peta Rencana Tata Ruang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 meliputi:
a.  Peta Rencana Struktur Ruang; dan
b.  Peta Rencana Pola Ruang.

(2) Selain Peta Rencana Tata Ruang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dapat ditetapkan Peta penetapan kawasan
strategis sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Pasal 5

(1) Peta Rencana Struktur Ruang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a terdiri atas:
a.  Peta Rencana Struktur Ruang Wilayah nasional;
b. Peta . . .
– 5 –

b.  Peta Rencana Struktur Ruang Wilayah provinsi;
c.  Peta Rencana Struktur Ruang Wilayah kabupaten;
dan
d.  Peta Rencana Struktur Ruang Wilayah kota.

(2) Peta Rencana Pola Ruang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) huruf b terdiri atas:
a.  Peta Rencana Pola Ruang Wilayah nasional;
b.  Peta Rencana Pola Ruang Wilayah provinsi;
c.  Peta Rencana Pola Ruang Wilayah kabupaten; dan
d.  Peta Rencana Pola Ruang Wilayah kota.

Pasal 6

(1) Peta Rencana Tata Ruang diselenggarakan dengan

menggunakan Peta Dasar dan Peta Tematik tertentu
melalui metode proses spasial yang ditentukan.
(2)  Ketentuan lebih lanjut mengenai Ketelitian Peta Dasar
dan Peta Tematik serta metode proses spasial yang
digunakan di dalam penyelenggaraan Peta Rencana Tata
Ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Kepala Badan.

Pasal 7

(1) Penyusunan Peta Rencana Tata Ruang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib dikonsultasikan
kepada Badan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara konsultasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Kepala Badan.

Paragraf 2
Peta Rencana Struktur Ruang Wilayah

Pasal 8

(1) Peta Rencana Struktur Ruang Wilayah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a meliputi unsur:
a.  sistem perkotaan;
b.  sistem jaringan transportasi;
c.  sistem jaringan energi;
d.  sistem jaringan telekomunikasi; dan
e.  sistem jaringan sumber daya air.
(2) Peta . . .
– 6 –

(2) Peta Rencana Struktur Ruang Wilayah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, huruf c, dan
huruf d meliputi unsur:
a. sistem perkotaan;
b. sistem jaringan transportasi;
c. sistem jaringan energi;
d. sistem jaringan telekomunikasi;
e. sistem jaringan sumber daya air; dan
f. sistem jaringan prasarana wilayah lainnya.

(3) Sistem sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
digambarkan pada 1 (satu) cakupan Peta Wilayah secara
utuh.

(4) Dalam hal diperlukan sistem sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dapat digambarkan pada Peta
tersendiri.
(5) Untuk kepentingan penetapan peraturan perundangundangan,

Peta Rencana Struktur Ruang Wilayah dapat
digambarkan dalam beberapa lembar Peta yang tersusun
secara sistematis mengikuti penggambaran wilayah
secara utuh.
Paragraf 3
Peta Rencana Pola Ruang Wilayah

Pasal 9

(1) Peta Rencana Pola Ruang Wilayah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) meliputi:
a. kawasan lindung; dan
b. kawasan budi daya.

(2) Peta Rencana Pola Ruang Wilayah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus digambarkan dalam
bentuk delineasi.

(3) Delineasi kawasan lindung dan kawasan budi daya harus
dipetakan pada lembar kertas yang menggambarkan
wilayah secara utuh.

(4) Dalam hal kawasan lindung dan kawasan budi daya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat
digambarkan dalam bentuk delineasi, penggambarannya
disajikan dalam bentuk simbol.
(5) Untuk . . .
– 7 –

(5) Untuk kepentingan penetapan peraturan perundangundangan,

Peta Rencana Pola Ruang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat digambarkan dalam
beberapa lembar Peta yang tersusun secara sistematis
mengikuti penggambaran wilayah secara utuh.

BAB III
KETELITIAN PETA

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 10

(1) Peta rencana umum tata ruang dan rencana rinci tata
ruang termasuk rencana tata ruang kawasan perkotaan,
kawasan perdesaan, dan kawasan lainnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 disusun dalam tingkat ketelitian
tertentu.

(2) Tingkat ketelitian tertentu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi:
a. ketelitian geometris; dan
b. ketelitian muatan ruang.

(3) Ketelitian geometris sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a meliputi:
a. sistem referensi Geospasial;
b. Skala; dan
c. Unit Pemetaan.

Pasal 11

(1) Dalam pembuatan Peta harus menggunakan sistem
referensi Geospasial yang ditetapkan oleh Kepala Badan.

(2) Dalam menetapkan sistem referensi Geospasial
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Badan
berpedoman pada sistem referensi Geospasial yang
bersifat global.

Pasal 12 . . .
– 8 –

Pasal 12

(1) Ketelitian muatan ruang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 ayat (2) huruf b meliputi:
a. kerincian kelas unsur; dan
b. simbolisasi.
(2) Kerincian kelas unsur dan simbolisasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)  tercantum dalam Lampiran yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Pemerintah ini.

(3) Dalam hal diperlukan perubahan penggambaran
kerincian kelas unsur dan simbolisasi pada Lampiran
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penentuan
kerincian kelas unsur dan simbolisasi dilakukan oleh
Kepala Badan dengan berkoordinasi bersama
kementerian/lembaga pemerintah non kementerian
terkait.
(4) Perubahan penggambaran kerincian kelas unsur dan
simbolisasi pada Lampiran sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dapat diusulkan oleh kementerian/lembaga
pemerintah non kementerian atau Badan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan terhadap
penggambaran kerincian kelas unsur dan simbolisasi
diatur dengan peraturan Kepala Badan.

Bagian Kedua
Ketelitian Peta Rencana Umum Tata Ruang

Paragraf 1
Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

Pasal 13

Peta Rencana Tata Ruang Wilayah nasional digambarkan
dengan menggunakan:
a. sistem referensi Geospasial sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11;
b. Peta Dasar Skala Minimal 1:1.000.000;
c. Unit Pemetaan yang dapat digunakan untuk Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional; dan
d. Ketelitian muatan ruang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12.
Paragraf 2 . . .
– 9 –

Paragraf 2
Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi

Pasal 14

(1) Peta Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi digambarkan
dengan menggunakan:
a. sistem referensi Geospasial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11;
b. Peta Dasar Skala Minimal 1:250.000;
c. Unit Pemetaan yang dapat digunakan untuk Rencana
Tata Ruang Wilayah provinsi; dan
d. Ketelitian muatan ruang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12.

(2) Dalam hal wilayah provinsi memiliki pesisir dan laut,
Peta Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi dapat
dilengkapi dengan Data Batimetri.

(3) Dalam hal wilayah provinsi berbatasan dengan wilayah
provinsi lain, Peta Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi
disusun setelah berkoordinasi dengan pemerintah
provinsi yang berbatasan langsung.

(4) Peta Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) digambarkan dengan
penggambaran wilayah provinsi ditambah dengan wilayah
provinsi yang berbatasan langsung dalam Koridor 5 (lima)
kilometer sepanjang garis perbatasan.

Paragraf 3
Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten

Pasal 15

(1) Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten digambarkan
dengan menggunakan:
a. sistem referensi Geospasial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11;
b. Peta Dasar Skala Minimal 1:50.000;
c. Unit Pemetaan yang dapat digunakan untuk Rencana
Tata Ruang Wilayah kabupaten; dan
d. Ketelitian muatan ruang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12.

(2) Dalam . . .
– 10 –

(2) Dalam hal wilayah kabupaten memiliki pesisir dan laut,
Peta Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten dapat
dilengkapi dengan Data Batimetri.

(3) Dalam hal wilayah kabupaten berbatasan dengan
kabupaten/kota lain, Peta Rencana Tata Ruang Wilayah
kabupaten disusun setelah berkoordinasi dengan
pemerintah kabupaten/kota yang berbatasan langsung.

(4) Peta Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) digambarkan
dengan penggambaran wilayah kabupaten ditambah
dengan wilayah kabupaten/kota yang berbatasan
langsung dalam Koridor 2,5 (dua koma lima) kilometer
sepanjang garis perbatasan.

Pasal 16

Rencana pola ruang wilayah kabupaten dapat digambarkan
dalam beberapa lembar Peta yang tersusun secara sistematis
mengikuti indeks Peta Dasar nasional.

Paragraf 4
Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Kota

Pasal 17

(1) Peta Rencana Tata Ruang Wilayah kota digambarkan
dengan menggunakan:
a. sistem referensi Geospasial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11;
b. Peta Dasar Skala Minimal 1:25.000;
c. Unit Pemetaan yang dapat digunakan untuk Rencana
Tata Ruang Wilayah kota; dan
d. Ketelitian muatan ruang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12.

(2) Dalam hal wilayah kota memiliki pesisir dan laut, Peta
Rencana Tata Ruang Wilayah kota dapat dilengkapi
dengan Data Batimetri.

(3) Dalam hal wilayah kota berbatasan dengan
kabupaten/kota lain, Peta Rencana Tata Ruang Wilayah
kota disusun setelah berkoordinasi dengan pemerintah
kabupaten/kota yang berbatasan langsung.
(4) Peta . . .
– 11 –

(4) Peta Rencana Tata Ruang Wilayah kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) digambarkan dengan
penggambaran wilayah kota ditambah dengan wilayah
kabupaten/kota yang berbatasan langsung dalam
Koridor 2,5 (dua koma lima) kilometer sepanjang garis
perbatasan.

Pasal 18

Sistem jaringan prasarana jalan pada Peta struktur ruang
wilayah kota harus digambarkan mengikuti terase jalan yang
sebenarnya.

Pasal 19

Rencana pola ruang wilayah kota dapat digambarkan dalam
beberapa lembar Peta yang tersusun secara sistematis
mengikuti indeks Peta Dasar nasional.

Bagian Ketiga
Ketelitian Peta Rencana Rinci Tata Ruang
Paragraf 1
Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang Wilayah Pulau/Kepulauan

Pasal 20

Peta Rencana Tata Ruang Wilayah pulau/kepulauan
digambarkan dengan menggunakan:
a. sistem referensi Geospasial sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11;
b. Peta Dasar Skala Minimal 1:500.000;
c. Unit Pemetaan yang dapat digunakan untuk Rencana Tata
Ruang Wilayah pulau/kepulauan; dan
d. Ketelitian muatan ruang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12.
Paragraf 2
Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional

Pasal 21

(1) Peta Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis nasional
merupakan penjabaran dari Peta Sebaran Kawasan
Strategis nasional dalam Rencana Tata Ruang Wilayah
nasional.
(2) Peta . . .
– 12 –

(2) Peta Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis nasional
digambarkan dengan menggunakan:
a. sistem referensi Geospasial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11;
b. Peta Dasar pada Skala yang sesuai dengan bentang
objek dan/atau sesuai kebutuhan;
c. Unit Pemetaan yang dapat digunakan untuk Rencana
Tata Ruang Kawasan Strategis nasional; dan
d. Ketelitian muatan ruang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12.
(3) Skala yang sesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b wajib dikonsultasikan kepada Kepala Badan.

Paragraf 3
Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi
Pasal 22

(1) Peta Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis provinsi
merupakan penjabaran dari Peta Sebaran Kawasan
Strategis provinsi dalam Rencana Tata Ruang Wilayah
provinsi.

(2) Peta Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis provinsi
digambarkan dengan menggunakan:
a. sistem referensi Geospasial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11;
b. Peta Dasar pada Skala yang sesuai dengan bentang
objek dan/atau sesuai kebutuhan;
c. Unit Pemetaan yang dapat digunakan untuk Rencana
Tata Ruang Kawasan Strategis provinsi; dan
d. Ketelitian muatan ruang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12.
(3) Skala yang sesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b wajib dikonsultasikan kepada Kepala Badan.
Paragraf 4
Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Kabupaten
Pasal 23

(1) Peta Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis kabupaten
merupakan penjabaran dari Peta Sebaran Kawasan
Strategis kabupaten dalam Rencana Tata Ruang Wilayah
kabupaten.
(2) Peta . . .
– 13 –

(2) Peta Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis kabupaten
digambarkan dengan menggunakan:
a. sistem referensi Geospasial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11;
b. Peta Dasar pada Skala yang sesuai dengan bentang
objek dan/atau sesuai kebutuhan;
c. Unit Pemetaan yang dapat digunakan untuk Rencana
Tata Ruang Kawasan Strategis kabupaten; dan
d. Ketelitian muatan ruang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12.

(3) Skala yang sesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b wajib dikonsultasikan kepada Kepala Badan.

Paragraf 5
Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Kota

Pasal 24

(1) Peta Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis kota
merupakan penjabaran dari Peta Sebaran Kawasan
Strategis kota dalam Rencana Tata Ruang Wilayah kota.

(2) Peta Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis kota
digambarkan dengan menggunakan:
a. sistem referensi Geospasial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11;
b. Peta Dasar pada Skala yang sesuai dengan bentang
objek dan/atau sesuai kebutuhan;
c. Unit Pemetaan yang dapat digunakan untuk Rencana
Tata Ruang Kawasan Strategis kota; dan
d. Ketelitian muatan ruang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12.

(3) Skala yang sesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf b wajib dikonsultasikan kepada Kepala Badan.

Pasal 25

Peta Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis kota memuat
unsur dengan tingkat kedetilan geometris sesuai dengan Skala
yang ditetapkan.
Paragraf 6 . . .
– 14 –

Paragraf 6
Ketelitian Peta Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/Kota
Pasal 26

(1) Peta Rencana Detail Tata Ruang kabupaten/kota
digambarkan dengan menggunakan:
a. sistem referensi Geospasial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11;
b. Peta Dasar dengan Skala yang sesuai dengan bentang
objek atau kawasan dan/atau tingkat kepentingan
objek atau kawasan yang digambarkan;
c. Unit Pemetaan yang dapat digunakan untuk Rencana
Detail Tata Ruang kabupaten/kota; dan
d. Ketelitian muatan ruang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12.

(2) Skala yang sesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b wajib dikonsultasikan kepada Kepala Badan.

Bagian Keempat
Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang
Kawasan Perkotaan dan Kawasan Perdesaan

Paragraf 1
Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan
Pasal 27

(1) Peta Rencana Tata Ruang Kawasan perkotaan yang
merupakan bagian wilayah kabupaten digambarkan
dengan menggunakan:
a. sistem referensi Geospasial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11;
b. Peta Dasar Skala Minimal 1:10.000;
c. Unit Pemetaan yang dapat digunakan untuk Rencana
Tata Ruang Kawasan perkotaan; dan
d. Ketelitian muatan ruang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12.

(2) Dalam hal Peta Rencana Tata Ruang Kawasan perkotaan
yang mencakup dua atau lebih wilayah kabupaten/kota
pada satu atau lebih wilayah provinsi digambarkan
dengan menggunakan:
a. sistem referensi Geospasial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11;
b. Peta Dasar Skala Minimal 1:50.000;
c. Unit Pemetaan yang dapat digunakan untuk Rencana
Tata Ruang Kawasan perkotaan; dan
d. Ketelitian . . .
– 15 –

d. Ketelitian muatan ruang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12.
Pasal 28

Sistem Pusat Kegiatan pada Peta Rencana Tata Ruang
Kawasan perkotaan harus menunjukkan dengan jelas kota
inti dan kota sekitarnya.
Paragraf 2
Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang Kawasan Perdesaan
Pasal 29

(1) Peta Rencana Tata Ruang Kawasan perdesaan yang
merupakan bagian wilayah kabupaten digambarkan
dengan menggunakan:
a. sistem referensi Geospasial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11;
b. Peta Dasar Skala Minimal 1:10.000;
c. Unit Pemetaan yang dapat digunakan untuk Tata
Ruang Kawasan perdesaan; dan
d. Ketelitian muatan ruang sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 12.
(2) Dalam hal Peta Rencana Tata Ruang Kawasan perdesaan
yang mencakup dua atau lebih wilayah kabupaten pada
satu atau lebih wilayah provinsi digambarkan dengan
menggunakan:
a. sistem referensi Geospasial sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11;
b. Peta Dasar Skala Minimal 1:50.000;
c. Unit Pemetaan yang dapat digunakan untuk Rencana
Tata Ruang Kawasan perdesaan; dan
d. Ketelitian muatan ruang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12.
BAB IV
PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI GEOSPASIAL
PETA RENCANA TATA RUANG
Pasal 30

(1) Pengelolaan data Peta rencana tata ruang disusun dalam
sistem pengelolaan basis Data Geospasial.

(2) Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan sejak  pengumpulan data sampai dengan
tersusunnya Peta rencana tata ruang.
(3) Ketentuan . . .
– 16 –

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengelolaan
data Peta rencana tata ruang diatur dengan Peraturan
Kepala Badan.
Pasal 31

Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang penataan ruang, gubernur, dan bupati/walikota wajib
menyerahkan duplikat Peta rencana tata ruang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 kepada Kepala Badan.
BAB V
PEMBINAAN TEKNIS
Pasal 32

(1) Badan melakukan pembinaan teknis perpetaan dalam
penyusunan rencana tata ruang yang dilakukan oleh
instansi Pemerintah dan pemerintah daerah.

(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dalam bentuk:
a. penerbitan pedoman, standar, dan spesifikasi teknis
serta sosialisasinya;
b. pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi;
c. pemberian pendidikan dan pelatihan;
d. perencanaan, penelitian, dan pengembangan; dan
e. pemantauan dan evaluasi.

BAB VI

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 33

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan
Pemerintah Nomor 10 tahun 2000 tentang Tingkat Ketelitian
Peta Untuk Rencana Tata Ruang Wilayah (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 20, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3934) dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 34

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar . . .
– 17 –

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Januari 2013

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Januari 2013

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

AMIR SYAMSUDIN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2013 NOMOR 8

Salinan sesuai dengan aslinya
KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
Asisten Deputi Perundang-undangan
Bidang Perekonomian,

Lydia Silvanna Djaman

I.    UMUM

PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 8 TAHUN 2013

TENTANG

KETELITIAN PETA RENCANA TATA RUANG
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
menegaskan bahwa tingkat ketelitian Peta rencana tata ruang diatur
dengan peraturan pemerintah.

Rencana tata ruang dilaksanakan melalui proses perencanaan tata ruang
yang menghasilkan antara lain Peta rencana tata ruang, pemanfaatan
ruang berdasarkan hasil perencanaan tata ruang yang telah ditetapkan,
dan pengendalian pemanfaatan ruang agar pemanfaatan ruang sesuai
dengan Peta rencana tata ruang. Dengan kata lain, kualitas pemanfaatan
ruang ditentukan antara lain oleh tingkat ketelitian rencana tata ruang
yang bentuknya digambarkan dalam Peta rencana tata ruang yang
disusun berdasarkan suatu sistem perpetaan yang disajikan berdasarkan
pada unsur serta simbol dan/atau notasi yang dibakukan secara
nasional.

Proses penyusunan Peta rencana tata ruang diawali dengan ketersediaan
Peta Dasar, oleh karena itu setiap jenis Peta harus memiliki Ketelitian
Peta yang pasti sesuai karakteristiknya. Peta Dasar dengan segala
karakteristik ketelitiannya, menjadi dasar bagi pembuatan Peta rencana
tata ruang wilayah. Selanjutnya Peta rencana tata ruang itu digunakan
sebagai media penggambaran Peta Tematik. Peta Tematik menjadi bahan
analisis dan proses síntesis penuangan rencana tata ruang wilayah dalam
bentuk Peta bagi penyusunan rencana tata ruang.

Oleh karena ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara yang terbagi
dalam wilayah daerah propinsi, wilayah daerah kabupaten/kota, maka
masing-masing rencana tata ruang wilayah tersebut secara berurutan
digambarkan dalam Peta Wilayah Negara Indonesia, Peta Wilayah provinsi,
Peta Wilayah kabupaten, dan Peta Wilayah kota. Peta Wilayah tersebut
diturunkan dari Peta Dasar sedemikian rupa sehingga hanya memuat
unsur rupa bumi yang diperlukan dari Peta Dasar, dengan maksud agar
Peta Wilayah tersebut tetap memiliki karakteristik ketelitian
georeferensinya. Penggambaran rencana tata ruang wilayah pada Peta
Wilayah . . .
– 2 –

Wilayah tersebut berwujud Peta rencana tata ruang wilayah. Sesuai
dengan ruang lingkup pengaturannya, Peraturan Pemerintah ini hanya
mengatur tentang ketelitian Peta rencana tata ruang dan turunannya.

Peta rencana tata ruang wilayah nasional ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah, sedangkan rencana tata ruang wilayah daerah propinsi,
rencana tata ruang wilayah daerah kabupaten, serta rencana tata ruang
wilayah daerah kota ditetapkan dengan peraturan daerah masing-masing.
Oleh karena rencana tata ruang wilayah tersebut berkekuatan hukum,
maka Peta rencana tata ruang wilayah sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dengan rencana tata ruang wilayah harus mengandung
tingkat ketelitian yang sesuai dengan Skala penggambarannya.

Alokasi pemanfaatan ruang untuk kawasan lindung, kawasan budi daya,
kawasan perkotaan, kawasan perdesaan, dan kawasan tertentu dalam
rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata ruang wilayah propinsi,
rencana tata ruang wilayah kabupaten, dan rencana tata ruang wilayah
kota, serta rencana tata ruang kawasan, digambarkan dengan unsur alam
seperti garis pantai, sungai, danau, dan unsur buatan seperti jalan,
pelabuhan, bandar udara, permukiman, serta unsur kawasan lindung dan
kawasan budi daya dengan batas wilayah administrasi dan nama kota,
nama sungai, dan nama laut. Penggambaran unsur tersebut disesuaikan
dengan keadaan di muka bumi dan pemanfaatan ruang yang
direncanakan.

Oleh karena dalam perencanaan tata ruang diperlukan data dan informasi
tentang tema tertentu yang berkaitan dengan sumber daya alam dan
sumber daya buatan, maka Peraturan Pemerintah ini erat kaitannya
dengan peraturan perundang-undangan lain yang memuat ketentuan
yang mengandung segi-segi penataan ruang.
II.    PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b . . .
– 3 –

Huruf b
Yang dimaksud dengan “kawasan strategis” adalah kawasan
strategis dari sudut kepentingan pertahanan keamanan,
pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, sumber daya
alam dan teknologi tinggi, serta daya dukung lingkungan
hidup.

Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 3
Cukup jelas.

Pasal 4
Ayat (1)

Cukup jelas.
Ayat (2)
Peta penetapan kawasan strategis dimaksudkan untuk
mendelineasi kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan
strategis sesuai nilai strategis yang menjadi dasar penetapannya.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “Peta Tematik tertentu” adalah Peta
Tematik yang dibutuhkan dalam menyelenggarakan Peta
rencana tata ruang di suatu daerah atau kawasan.
Yang dimaksud dengan “metode proses spasial yang ditentukan”
adalah cara mengolah Data Geospasial menjadi Peta rencana
tata ruang yang meliputi penyamaan sistem referensi geometris,
generalisasi, kodefikasi digital, dan indeks lembar Peta luaran.
Ayat (2) . . .
– 4 –

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 7
Cukup jelas.

Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d
Cukup jelas.

Huruf e
Cukup jelas.

Huruf f
Yang dimaksud dengan “sistem jaringan prasarana wilayah
lainnya” dapat meliputi jaringan prasarana lingkungan,
mencakup prasarana pengelolaan lingkungan yang terdiri
atas sistem jaringan persampahan, sumber air minum,
jalur evakuasi bencana, dan sistem jaringan prasarana
kebutuhan lainnya yang disesuaikan dengan kebutuhan
pengembangan wilayah lainnya.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “digambarkan pada Peta tersendiri”
adalah penggambaran unsur pada sebuah Peta yang terpisah
dari unsur lain.

Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 9 . . .
– 5 –

Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “tidak dapat digambarkan dalam bentuk
delineasi” adalah penggambaran objek yang memiliki luasan
terlalu kecil untuk dapat digambarkan di dalam Peta skala
tertentu.

Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “sistem referensi Geospasial”
adalah:
a. datum geodesi yang berupa datum vertikal tertentu yang
berupa bidang yang menjadi acuan tinggi yang
ditetapkan untuk menggambarkan posisi tinggi;
b. sistem referensi koordinat yang merupakan sistem
untuk menentukan posisi suatu objek secara unik di
muka bumi; dan
c. sistem proyeksi yang merupakan sistem penggambaran
muka bumi yang tidak beraturan secara matematis
pada bidang datar.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 11 . . .
– 6 –

Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”sistem referensi Geospasial yang
bersifat global” adalah sistem referensi Geospasial yang berlaku
secara internasional.

Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “perubahan penggambaran” yaitu
melakukan penambahan, pengurangan, dan/atau penggantian
kerincian kelas unsur dan simbolisasi pada Lampiran.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 13
Cukup jelas.

Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “garis perbatasan” merupakan garis
batas yang bersifat indikatif kecuali garis batas yang
digambarkan telah  ditetapkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 15 . . .
– 7 –

Pasal 15
Cukup jelas.

Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18

Yang dimaksud dengan “terase jalan” adalah proyeksi sumbu jalan
pada bidang horizontal.

Pasal 19
Cukup jelas.

Pasal 20
Cukup jelas.

Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Yang dimaksud dengan “bentang objek” adalah luasan dan
cakupan wilayah dari suatu objek.

Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 22
Cukup jelas.

Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24 . . .
– 8 –

Pasal 24
Cukup jelas.

Pasal 25
Yang dimaksud dengan “tingkat kedetilan geometris” adalah tingkat
ketepatan untuk sebuah objek digambarkan dalam Peta. Semakin
besar skalanya, semakin mendekati aslinya untuk objek yang
digambarkan pada Peta.
Pasal 26
Cukup jelas.

Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.

Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “basis Data Geospasial” adalah suatu
sistem pengelolaan data dan Informasi Geospasial tata ruang
secara digital sehingga analisa keruangan dengan sistem
informasi geografis dapat dilakukan.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 31
Yang dimaksud dengan “duplikat Peta rencana tata ruang” adalah
dokumen tertulis dan dokumen elektronik dari basis Data Geospasial
Peta rencana tata ruang.

Pasal 32
Cukup jelas.

Pasal 33
Cukup jelas.

Pasal 34
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5393

PENATAAN RUANG

LOGO PENATAAN RUANG

LAMPIRAN PP Nomor 8 Tahun 2013 tentang Ketelitian Peta Rencana tata ruang

Posted: Desember 29, 2011 in Uncategorized
PENATAAN RUANG

LOGO PENATAAN RUANG

legislasi RDTR

Posted: Desember 29, 2011 in Uncategorized

Legislasi RDTR

Draft Ranperda Sumatera Barat

Posted: Desember 29, 2011 in Uncategorized

Konsep Ranperda RTRWP Sumbar

 

RANCANGAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT

NOMOR : _________________ TAHUN 2009

                                                                  TENTANG

RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI

SUMATERA BARAT TAHUN 2009 – 2029

 

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR SUMATERA BARAT

Menimbang  :  a.    bahwa ruang merupakan komponen lingkungan hidup yang bersifat terbatas dan tidak terbaharui, sehingga perlu dikelola secara bijaksana dan dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk kepentingan generasi sekarang dan generasi yang akan datang;

  1. bahwa perkembangan pembangunan khususnya pemanfaatan ruang di wilayah Provinsi Sumatera Barat diselenggarakan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan potensi sumberdaya alam, sumberdaya buatan, dan sumberdaya manusia dengan tetap memperhatikan daya dukung, daya tampung, dan kelestarian lingkungan hidup;
  2. bahwa perubahan kebijakan pemerintah dalam skala besar, serta terjadinya perubahan faktor-faktor eksternal dan internal membutuhkan penyesuaian penataan ruang wilayah Provinsi Sumatera Barat secara dinamis dalam satu kesatuan tata lingkungan berlandaskan kondisi fisik, kondisi sosial budaya, dan kondisi sosial ekonomi melalui penetapan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Barat sampai tahun 2029;
  3. bahwa Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Barat Nomor 13 Tahun 1994 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang terjadi sehingga perlu dilakukan penyempurnaan;
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tercantum huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d, maka perlu ditetapkan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Barat tahun 2009-2029.

 

Mengingat    :  1.    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor  61 Tahun 1958 tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah-daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi, dan Riau menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1646) Jo Peraturan Pemerintah Nomor  29 Tahun 1979;

  1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor  5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043);
  2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3260);
  3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);
  4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3469);
  5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3470);
  6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3406);
  7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647);
  8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan  Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699);
  9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419);
  10. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888);
  11. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247);
  12. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477);
  13. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4411);
  14. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4412);
  15. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433);
  16. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor  4437 ), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4844);
  17. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 444);
  18. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor  23  Tahun  2007 Tentang Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4722);
  19. Undang-Undang Republik Indonesia  Nomor 24 Tahun 2007  Tentang  Penanggulangan    Bencana    (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan   Lembaran   Negara   Republik  Indonesia Nomor 4723);
  20. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725);
  21. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4739);
  22. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Energi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4746 );
  23. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
  24. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor  4849);
  25. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor  18  Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4851);
  26. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956);
  27. Undang-Undang Republik Indonesia  Nomor  4 Tahun 2009 tentang  Pertambangan Mineral dan Batubara  (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959);
  28. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966);
  29. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 1996  tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, Serta Bentuk Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3660);
  30. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3776);
  31. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2000 tentang Ketelitian Peta untuk RTRW (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3034);
  32. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia 3952);
  33. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 146; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4452);
  34. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4490);
  35. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2005 tentang Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 165; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593);
  36. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4624);
  37. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4655);
  38. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696);
  39. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);
  40. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembar Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembar Negara Republik Indonesia Nomor 4833);
  41. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung;
  42. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 4 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Provinsi Sumatera Barat Tahun 2006-2010.
  43. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 7 Tahun 2008  tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang.

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT

dan

GUBERNUR SUMATERA BARAT

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :     PERATURAN DAERAH TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI SUMATERA BARAT TAHUN 2009 – 2029

 

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :

  1. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
    1. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
    2. Provinsi adalah Provinsi Sumatera Barat.
    3. Pemerintah Provinsi adalah Pemerintah Provinsi Sumatera Barat.
    4. Gubernur adalah Gubernur Provinsi Sumatera Barat.
    5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sumatera Barat.
    6. Kabupaten/Kota adalah Kabupaten/Kota dalam wilayah Provinsi Sumatera Barat.
    7. Pemerintah Kabupaten/Kota adalah Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang berada di wilayah Provinsi Sumatera Barat.
    8. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.
    9. Tata Ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.
    10. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional.
    11. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya.
    12. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
    13. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang.
    14. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/ atau aspek fungsional.
    15. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi yang selanjutnya disingkat RTRWP adalah arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah provinsi.
    16. Kawasan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya.
    17. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.
    18. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumberdaya buatan.
    19. Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang menudukung perikehidupan dan penghidupan.
    20. Kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
    21. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
    22. Kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditujukan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarkis keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis.
    23. Kawasan metropolitan adalah kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000 (satu juta) jiwa.
    24. Kawasan strategis nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara, ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang ditetapkan sebagai warisan dunia.
    25. Kawasan strategis provinsi adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan.
    26. Kawasan Pesisir adalah wilayah pesisir tertentu yang ditunjukan dan atau ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan kriteria tertentu, seperti karakter fisik, biologi, sosial dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya.
    27. Kawasan andalan adalah bagian dari kawasan budi daya, baik di ruang darat maupun ruang laut yang pengembangannya diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi bagi kawasan tersebut dan kawasan di sekitarnya.
    28. Kawasan alur pelayaran adalah wilayah perairan yang dialokasikan untuk alur pelayaran bagi kapal.
    29. Kawasan pertahanan negara adalah wilayah yang ditetapkan secara nasional yang digunakan untuk kepentingan pertahanan.
    30. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
    31. Kawasan hutan lindung adalah kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitarnya maupun bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegahan banjir dan erosi serta pemeliharaan kesuburan tanah.
    32. Kawasan resapan air adalah kawasan yang mempunyai kemampuan tinggi untuk meresapkan air hujan sehingga merupakan tempat pengisian air bumi (akifer) yang berguna sebagai sumber air.
    33. Kebandarudaraan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan penyelenggaraan bandar udara dan kegiatan lainnya dalam melaksanakan fungsi keselamatan, keamanan, kelancaran, dan ketertiban arus lalu lintas pesawat udara, penumpang, kargo dan/atau pos, tempat perpindahan intra dan/atau antarmoda serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah.
    34. Tatanan kebandarudaraan nasional adalah sistem kebandarudaraan secara nasional yang menggambarkan perencanaan bandar udara berdasarkan rencana tata ruang, pertumbuhan ekonomi, keunggulan komparatif wilayah, kondisi alam dan geografi, keterpaduan intra dan antarmoda transportasi, kelestarian lingkungan, keselamatan dan keamanan penerbangan, serta keterpaduan dengan sektor pembangunan lainnya.
    35. Bandar udara adalah kawasan di daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu yang digunakan sebagai tempat pesawat udara mendarat dan lepas landas, naik turun penumpang, bongkar muat barang, dan tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi, yang  dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan penerbangan, serta fasilitas pokok dan  fasilitas penunjang lainnya.
    36. Bandar udara umum adalah bandar udara yang digunakan untuk melayani kepentingan umum.
    37. Bandar udara khusus adalah bandar udara yang hanya digunakan untuk melayani kepentingan sendiri untuk menunjang kegiatan usaha pokoknya.
    38. Bandar udara domestik adalah bandar udara yang ditetapkan sebagai bandar udara yang melayani rute penerbangan dalam negeri.
    39. Bandar udara internasional adalah bandar udara yang ditetapkan sebagai bandar udara yang melayani rute penerbangan dalam negeri dan rute penerbangan dari dan ke luar negeri.
    40. Bandar udara pengumpul (hub) adalah bandar udara yang mempunyai cakupan pelayanan yang luas dari berbagai bandar udara yang melayani penumpang dan/atau kargo dalam jumlah besar dan mempengaruhi perkembangan ekonomi secara nasional atau berbagai provinsi.
    41. Bandar udara pengumpan (spoke) adalah bandar udara yang mempunyai cakupan pelayanan dan mempengaruhi perkembangan ekonomi terbatas.
    42. Pangkalan udara adalah kawasan di daratan dan/atau di perairan dengan batas-batas tertentu dalam wilayah Republik Indonesia yang digunakan untuk kegiatan lepas landas dan pendaratan pesawat udara guna keperluan pertahanan negara oleh Tentara Nasional Indonesia.
    43. Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP) adalah wilayah daratan dan/atau perairan serta ruang udara di sekitar bandar udara yang digunakan untuk kegiatan operasi penerbangan dalam rangka menjamin keselamatan penerbangan..
    44. Penerbangan adalah satu kesatuan sistem  yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya.
    45. Angkutan udara niaga adalah angkutan udara untuk umum dengan memungut pembayaran.
    46. Angkutan udara bukan niaga adalah angkutan udara yang digunakan untuk melayani kepentingan sendiri yang dilakukan untuk mendukung kegiatan yang usaha pokoknya selain di bidang angkutan udara.
    47. Angkutan udara dalam negeri adalah kegiatan angkutan udara niaga untuk melayani angkutan udara dari satu  bandar udara ke bandar udara lain di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
    48. Angkutan udara kuar negeri adalah kegiatan angkutan udara niaga untuk melayani angkutan udara dari satu  bandar udara di dalam negeri ke bandar udara lain di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sebaliknya.
    49. Angkutan udara perintis adalah kegiatan angkutan udara niaga dalam negeri yang melayani jaringan dan rute penerbangan untuk menghubungkan daerah terpencil dan tertinggal atau daerah yang belum terlayani oleh moda transportasi lain dan secara komersial belum menguntungkan.
    50. Rute penerbangan adalah lintasan pesawat udara dari bandar udara asal ke bandar udara tujuan melalui jalur penerbangan yang telah ditetapkan.
    51. Jaringan penerbangan adalah beberapa rute penerbangan yang merupakan satu kesatuan pelayanan angkutan udara.
    52. Tatanan kepelabuhanan nasional suatu sistem kepelabuhanan yang memuat peran, fungsi, jenis, hirarki pelabuhan, rencana induk pelabuhan nasional dan lokasi pelabuhan serta keterpaduan intra dan antar moda serta keterpaduan dengan sektor lain.
    53. Pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang dan/atau bongkar muat barang, berupa terminan dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi.
    54. Perkeretaapian adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas prasarana, sarana, dan sumber daya manusia, serta norma, kriteria, persyaratan dan prosedur untuk penyelenggaraan transportasi kereta api.
    55. Prasarana perkeretaapian adalah jalur kereta api, stasiun kereta api dan fasilitas operasi kereta api agar kereta api dapat dioperasikan.
    56. Jaringan jalur kereta api adalah seluruh jalur kereta api yang terkait satu dengan yang lain yang menghubungkan berbagai tempat sehingga merupakan satu sistem.
    57. Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang.
    58. Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu.
    59. Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuhtumbuhan.
    60. Pertambangan mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah.
    61. Pertambangan batubara adalah  pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan  aspal.
    62. Usaha pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang.
    63. Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut IUP, adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan.
    64. Penambangan adalah bagian kegiatan usaha pertambangan  untuk memproduksi mineral dan/atau batubara dan mineral ikutannya.
    65. Kegiatan pascatambang, yang selanjutnya disebut pascatambang, adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir  sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan.
    66. Wilayah Pertambangan, yang selanjutnya disebut WP, adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional.
    67. Wilayah Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut WUP, adalah bagian dari WP yang telah memiliki ketersediaan data, potensi, dan/atau informasi geologi.
    68. Wilayah Izin Usaha Pertambangan, yang selanjutnya disebut WIUP, adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang IUP.
    69. Wilayah Pertambangan Rakyat, yang selanjutnya disebut WPR, adalah bagian dari WP tempat dilakukan kegiatan usaha pertambangan rakyat.
    70. Wilayah Pencadangan Negara, yang selanjutnya disebut WPN, adalah bagian dari WP yang dicadangkan untuk kepentingan strategis nasional.
    71. Wilayah Usaha Pertambangan Khusus yang selanjutnya disebut WUPK, adalah bagian dari WPN yang dapat  diusahakan.
    72. Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus dalam WUPK, yang selanjutnya disebut WIUPK, adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang IUPK.
    73. Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.
    74. Pariwisata adalah berbagai  macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah.
    75. Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha.
    76. Daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa  keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan.
    77. Daerah tujuan pariwisata yang selanjutnya disebut Destinasi Pariwisata adalah kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan.
    78. Kawasan pariwisata adalah kawasan dengan luas tertentu yang dibangun atau didirikan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata.
    79. Objek dan Daya Tarik Wisata Khusus, selanjutnya disebut ODTWK, adalah segala sesuatu yang menjadi sasaran wisata dengan kekhususan pengembangan sarana dan prasarana.
    80. Kawasan strategis pariwisata adalah kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan.
    81. Sempadan pantai adalah kawasan perlindungan setempat sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian dan kesucian pantai, keselamatan bangunan, dan tersedianya ruang untuk lain lintas umum.
    82. Sempadan sungai adalah kawasan sepanjang kiri-kanan sungai, termasuk sungai buatan/kanal/saluran irigasi primer yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi sungai.
    83. Kawasan sekitar danau/ waduk adalah kawasan sekeliling danau atau waduk yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi danau/waduk.
    84. Kawasan sekitar mata air adalah kawasan sekeliling mata air yang mempunyai manfaat penting untuk kelestarian fungsi mata air.
    85. Kawasan pantai berhutan bakau adalah kawasan pesisir laut yang merupakan habitat alami hutan bakau yang berfungsi memberi perlindungan kepada kehidupan pantai dan laut.
    86. Kawasan suaka alam adalah kawasan yang mewakili ekosistem khas yang merupakan habitat alami yang memberikan perlindungan bagi perkembangan flora dan fauna yang khas dan beraneka ragam
    87. Kawasan taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, pariwisata, rekreasi dan pendidikan
    88. Kawasan taman hutan raya adalah kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk tujuan koleksi tumbuh-tumbuhan dan satwa alami atau buatan, jenis asli atau bukan asli, pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, kebudayaan, pariwisata, dan rekreasi.
    89. Kawasan taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam darat maupun perairan yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam.
    90. Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan adalah tempat serta ruang di sekitar bangunan bernilai budaya tinggi dan sebagai tempat serta ruang di sekitar situs purbakala dan kawasan yang memiliki bentukan geologi alami yang khas.
    91. Wilayah prioritas adalah wilayah yang dianggap perlu diprioritaskan penanganannya serta memerlukan dukungan penataan ruang segera dalam kurun waktu perencanaan.
    92. Pusat Kegiatan Nasional yang selanjutnya disebut PKN adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala internasional, nasional, atau beberapa provinsi.
    93. Pusat Kegiatan Wilayah yang ditetapkan secara nasional selanjutnya disebut PKW adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala provinsi atau beberapa kabupaten/kota.
    94. Pusat Kegiatan Wilayah yang di promosikan oleh provinsi selanjutnya disebut PKWp adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala provinsi atau beberapa kabupaten/kota.
    95. Pusat Kegiatan Lokal yang selanjutnya disingkat PKL adalah adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kabupaten/kota atau beberapa kecamatan.
    96. Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumberdaya air dalam satu atau lebih daerah aliran sungai dan/atau pulau-pulau kecil yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 km2
    97. Daerah Aliran Sungai/Wilayah Sungai yang selanjutnya disingkat WS adalah suatu wilayah tertentu yang bentuk dan sifat alamnya merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya dan kemudian mengalirkannya melalui sungai utama ke laut. Satu WS dipisahkan dari wilayah lain di sekitarnya (WS-WS lain) oleh pemisah alam topografi seperti punggung perbukitan dan pegunungan. Pengelolaan WS adalah upaya manusia dalam mengendalikan hubungan timbal balik antara sumberdaya alam dengan manusia di dalam WS dan segala aktifitasnya, dengan tujuan membina kelestarian dan keserasian ekosistem serta meningkatkan kemanfaatan sumberdaya alam bagi manusia secara berkelanjutan.
    98. Hutan adalah satu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
    99. Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
    100. Lingkungan adalah sumberdaya fisik dan biologis yang menjadi kebutuhan dasar agar kehidupan masyarakat (manusia) dapat bertahan.
    101. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya.
    102. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya.
    103. Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi, dan atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya.
    104. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh, menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktifitas lingkungan hidup.
    105. Habitat adalah lingkungan fisik, kimia dan biologis dengan ciri-ciri khusus yang mendukung spesies atau komunitas biologis tertentu.
    106. Konservasi adalah pengelolaan pemanfaatan oleh manusia terhadap biosfer sehingga dapat menghasilkan manfaat berkelanjutan yang terbesar kepada generasi sekarang sementara mempertahankan potensinya untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi generasi akan datang (suatu variasi defenisi pembangunan berkelanjutan).
    107. Mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis yang tumbuh dan berkembang pada daerah air payau atau daerah pasang surut dengan substrat berlumpur dicampur dengan pasir. Biasanya berada di mulut sungai.
    108. Pulau kecil adalah pulau dengan ukuran luas  kurang atau sama dengan 10.000 km², jumlah penduduk kurang dari 200.000 jiwa, terpisah dari pulau induk, bersifat insuler, memiliki biota indemik, memiliki daerah tangkapan air yang relatif kecil dan sempit, kondisi sosial, budaya  dan ekonomi masyarakatnya bersifat khas dan berbeda dengan pulau induk.
    109. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang selanjutnya disebut ZEE Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya, dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia.
    110. Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    111. Orang adalah orang perseorangan dan/ atau korporasi.
    112. Masyarakat adalah orang perorangan, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat atau badan hukum.
    113. Peran masyarakat adalah berbagai kegiatan masyarakat yang timbul atas kehendak dan prakarsa masyarakat, untuk berminat dan bergerak dalam penyelenggaraan penataan ruang.
    114. Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumberdaya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.

 

 

 

 

 

 

BAB II

TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENATAAN RUANG

 

Bagian Kesatu

Tujuan

Pasal 2

Tujuan penataan ruang wilayah adalah ”Terwujudnya Keterpaduan Pola Ruang Provinsi Sumatera Barat Sampai Tahun 2029 Melalui Pengembangan Potensi Sumber Daya Alam Dengan Tetap Memperhatikan Ekosistem Alam dan Daya Dukung Wilayah Secara Berkelanjutan”.

Bagian Kedua

Kebijakan dan Strategi

Pasal 3

Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud pasal 2, maka kebijakan dan strategi yang akan dilaksanakan, meliputi :

  1. Pengurangan kesenjangan pembangunan dan perkembangan wilayah Utara-Selatan Provinsi Sumatera Barat, melalui:
    1. Pengembangan interaksi kawasan untuk meningkatan perkembangan ekonomi kawasan dengan pengembangan jalan arteri primer dan sarana pendukungnya.
    2. Peningkatan akses kawasan budidaya ke sistem jaringan transportasi melalui peningkatan jalan kolektor primer.
    3. Peningkatan sarana dan prasarana pendukung untuk menunjang pengembangan pusat-pusat primer dan sekunder berupa pengembangan fasilitas bongkar muat dan sarana pelabuhan perikanan di PKN, PKW dan/atau PKWp.
    4. Peningkatan pemanfaatan potensi sumberdaya alam di wilayah selatan melalui pengolahan produk perkebunan dan perikanan.
    5. Pengembangan ekonomi sektor primer, sekunder dan tersier sesuai daya dukung wilayah, melalui:
      1. Peningkatan kegiatan pertanian, kehutanan dan perkebunan melalui pola intensifikasi dan ekstensifikasi dengan tetap mempertahankan ekosistem lingkungan.
      2. Peningkatan pengembangan kawasan  agropolitan dengan melengkapi fasilitas perdagangan pusat koleksi distribusi dan jasa pendukung komoditas pertanian kawasan.
      3. Peningkatan pengembangan industri berbasis pertanian berupa perlengkapan saprodi dan sarana pendukungnya.
      4. Peningkatan pengembangan kegiatan jasa perdagangan untuk mendukung kegiatan primer dan sekunder, serta menciptakan lapangan kerja perkotaan terutama di kawasan metropolitan.
      5. Pengembangan kegiatan sektor unggulan pada kawasan andalan antara lain pertanian, perkebunan, pertambangan, industri, perikanan dan pariwisata.
      6. Penetapan pusat-pusat kegiatan untuk mendukung pelayanan sosial/ekonomi dan pengembangan wilayah, melalui :
        1. Pemantapan pengembangan PKN Kota Padang sebagai pusat orientasi wilayah menuju Metropolitan Padang, PKW yang terdiri dari Kota Bukittinggi, Kota Pariaman, Kota Sawahlunto, Kota Solok dan Muara Siberut sesuai arahan RTRWN.
          1. Penetapan pusat-pusat kegiatan lingkungan dalam rangka Peningkatan pelayanan intra wilayah di 19 kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Barat.
          2. Pembangunan yang terkait dengan kegiatan dan akses dalam kawasan agropolitan berupa pengembangan jalan kolektor primer ke pusat pengembangan agropolitan.
          3. Peningkatan fungsi Kota Padang menjadi kota metropolitan, melalui :
            1. Fasilitasi peningkatan fungsi Kota Padang menjadi kawasan metropolitan dengan kajian wilayah yang berbatasan langsung dengan Kota Padang sebagai wilayah pengaruh dan kota-kota sekitar sebagai pendukungnya.
              1. Penyusunan sinkronisasi penataan ruang kawasan perkotaan metropolitan terutama sistim jaringan prasarana dan sarana fasilitas perkotaan.
              2. Peningkatan pelayanan sarana dan prasarana kawasan perkotaan metropolitan sesuai hirarki pelayanan dan tetap memperhatikan kaidah lingkungan, terutama kawasan RTH minimal 30 %, prasarana pejalan kaki dan pedagang informal.
              3. Pengembangan dan Peningkatan pelayanan sarana dan prasarana transportasi laut dan udara dalam rangka menunjang kegiatan koleksi dan distribusi barang/penumpang di Pelabuhan Laut Internasional Teluk Bayur dan Bandar Udara Internasional Minangkabau.
              4. Penetapan dan Peningkatan Kota Payakumbuh, Pulau Punjung, Tapan, dan Simpang Empat menjadi Pusat Kegiatan Wilayah yang dipromosikan provinsi (PKWp) untuk melayani beberapa kabupaten, dan Pusat Kegiatan Lokal (PKL) yaitu Painan, Lubuk Alung, Parik Malintang, Lubuk Basung, Lubuk Sikaping, Sarilamak, Kota Padang Panjang, Batusangkar, Muaro Sijunjung, Aro Suka, Padang Aro, dan Tuapejat untuk melayani satu wilayah kabupaten atau beberapa kecamatan, melalui :
                1. Pengembangan fungsi pusat-pusat sesuai dengan potensi kegiatan wilayah.
                2. Pengembangan sarana dan prasarana sesuai dengan fungsi pusat kegiatan baik internal maupun eksternal.
                3. Peningkatan prasarana transportasi dalam rangka menunjang pengembangan ekonomi daerah.
                4. Pendorongan terbentuknya aksesibilitas jaringan transportasi dalam rangka menunjang perkembangan wilayah, melalui :
                  1. Perwujudan dan peningkatan hubungan lintas barat, tengah dan timur Sumatera dengan mengembangkan jaringan jalan arteri primer dan kolektor primer.
                  2. Peningkatan akses wilayah-wilayah di Provinsi Sumatera Barat yang belum berkembang dengan pembangunan jaringan jalan kolektor primer dan pelayanan kapal perintis ke daerah-daerah terisolir di Pantai Barat  Provinsi Sumatera Barat dan Kepulauan Mentawai.
                  3. Pengembangan sistem transportasi kereta api di Provinsi Sumatera Barat dalam rangka menunjang jaringan transportasi kereta api Pulau Sumatera.
                  4. Peningkatan pelayanan angkutan kereta api di Provinsi Sumatera Barat untuk angkutan barang dan penumpang.
                  5. Penetapan kawasan lindung untuk menjaga kelestarian sumberdaya alam secara terpadu dengan provinsi berbatasan, melalui :
                    1. Pemantapan fungsi kawasan lindung.
                    2. Prioritas penyelesaian konflik penggunaan ruang berdasarkan aspek hukum dan pertimbangan kondisi sosial masyarakat setempat.
                    3. Sinkronisasi fungsi kawasan lindung dengan provinsi yang berbatasan.
          4. Peningkatan pemanfaatan kawasan budidaya untuk mendukung pengembangan ekonomi daerah, melalui :
            1. Pengembangan kawasan andalan sesuai dengan potensi unggulan, yang meliputi Kawasan Padang Pariaman dan sekitarnya, Agam-Bukittinggi (PLTA Koto Panjang), Kepulauan Mentawai dan sekitarnya, Solok dan sekitarnya (Danau Kembar-PIP Danau Singkarak-Lubuk Alung-Ketaping) dan Kawasan Laut Kepulauan Mentawai-Siberut dan sekitarnya.
              1. Pemanfaatan kawasan budidaya sesuai dengan kapasitas daya dukung lingkungan.

 

BAB III

FUNGSI DAN KEDUDUKAN

Pasal 4

(1)       RTRWP berfungsi sebagai arahan struktur dan pola ruang, pemanfaatan sumberdaya, dan pembangunan daerah serta penyelaras kebijakan penataan ruang Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. RTRWP juga berfungsi sebagai pedoman dalam penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Provinsi dan pedoman penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Provinsi.

(2)       Kedudukan RTRWP adalah  :

  1. Sebagai dasar pertimbangan dalam menyusun tata ruang nasional; penyelaras bagi kebijakan penataan ruang kabupaten/kota di wilayah Provinsi Sumatera Barat; dan pedoman bagi pelaksanaan perencanaan, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang di kabupaten/kota se  Provinsi  Sumatera Barat;
  2. Sebagai dasar pertimbangan dalam penyelarasan penataan ruang Provinsi lain yang berbatasan; dan kebijakan pemanfaatan ruang Provinsi, lintas kabupaten/kota, dan lintas ekosistem.

BAB IV

LINGKUP WILAYAH PERENCANAAN, SUBSTANSI, DAN JANGKA WAKTU RTRWP

Pasal 5

(1)      Lingkup wilayah perencanaan merupakan daerah dengan batas yang ditentukan berdasarkan aspek administratif mencakup wilayah daratan, wilayah pesisir dan laut, perairan lainnya, serta wilayah udara.

(2)       Batas-batas wilayah meliputi:

  1. sebelah utara berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara,
  2. sebelah timur berbatasan dengan Provinsi Riau dan Provinsi Jambi,
  3. sebelah selatan dengan Provinsi Bengkulu, dan
  4. sebelah barat dengan Samudera Hindia.

(3)       Lingkup wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

  1. Kota Padang
  2. Kota Pariaman
  3. Kota Padang Panjang
  4. Kota Bukittinggi
  5. Kota Payakumbuh
  6. Kota Sawahlunto
  7. Kota Solok
  8. Kabupaten Padang Pariaman
  9. Kabupaten Agam
  10. Kabupaten Pasaman Barat
  11. Kabupaten Pasaman
  12. Kabupaten Limapuluh Kota

m. Kabupaten Tanah Datar

  1. Kabupaten Sijunjung
  2. Kabupaten Dharmasraya
  3. Kabupaten Solok
  4. Kabupaten Solok Selatan
  5. Kabupaten Pesisir Selatan
  6. Kabupaten Kepulauan Mentawai

Pasal 6

RTRWP yang diatur dalam Peraturan Daerah ini substansinya memuat : tujuan, kebijakan dan strategi penataan ruang, rencana struktur ruang, rencana pola ruang, penetapan kawasan strategis, arahan pemanfaatan ruang, dan arahan pengendalian pemanfaatan ruang.

Pasal 7

(1)       Jangka waktu RTRWP berlaku untuk 20 (dua puluh) tahun  terhitung sejak Tahun 2009  sampai dengan Tahun 2029.

(2)       RTRWP sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.

(3)       Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan dan/atau perubahan batas wilayah yang ditetapkan dengan Undang-Undang, RTRWP dapat ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.

 

BAB V

RENCANA STRUKTUR RUANG

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 8

(1)     Rencana struktur ruang wilayah meliputi :

  1. sistem perkotaan;
  2. sistem jaringan transportasi;
  3. sistem jaringan energi;
  4. sistem jaringan telekomunikasi;
  5. sistem jaringan sumberdaya air; dan
  6. sistem prasarana lingkungan.

(2)     Rencana struktur ruang wilayah digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1 : 250.000 sebagaimana tercantum pada Lampiran I dan merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Bagian Kedua

Rencana dan Kriteria Sistem Perkotaan

Paragraf 1

Rencana Sistem Perkotaan

Pasal 9

(1)     Rencana sistem perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf a dikembangkan secara hierarki dan dalam bentuk pusat kegiatan, sesuai kebijakan nasional dan provinsi, potensi, dan rencana pengembangan.

(2)     Pengembangan pusat kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari :

a.    Pusat Kegiatan Nasional (PKN);

b.    Pusat Kegiatan Wilayah (PKW);

c.    Pusat Kegiatan Wilayah yang dipromosikan oleh Provinsi (PKWp); dan

d.    Pusat Kegiatan Lokal (PKL).

(3)     Kota yang ditetapkan sebagai PKN sebagaimana dimaksud  pada ayat (2) huruf a adalah Kota Padang;

(4)     Kota-kota yang ditetapkan sebagai PKW sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b adalah :

  1. Kota Bukittinggi;
  2. Kota Pariaman;
  3. Kota Sawahlunto;
  4. Kota Solok; dan
    1. Muara Siberut.

(5)     Kota-kota yang ditetapkan sebagai PKWp sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c adalah :

a.    Kota Payakumbuh;

b.    Pulau Punjung;

c.    Tapan; dan

d.    Simpang Empat.

(6)     Kota-kota yang ditetapkan sebagai PKL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d adalah kota-kota yang tidak termasuk sebagai PKN, PKW dan PKWp, yaitu :

  1. Painan;
  2. Kota Padang Panjang;
  3. Lubuk Sikaping;
  4. Sari Lamak;
  5. Batusangkar;
  6. Padang Aro;
  7. Tuapejat;
  8. Lubuk Basung;
  9. Muaro Sijunjung;
  10. Lubuk Alung;
  11. Aro Suka; dan
  12. Parik Malintang.

Pasal 10

(1)     Selain rencana pengembangan sistem pusat kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) juga dikembangkan kawasan Metropolitan Padang untuk sinkronisasi pembangunan kawasan perkotaan Padang dengan kawasan perkotaan sekitarnya.

(2)     Kawasan Metropolitan Padang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

  1. Kota Padang;
  2. Lubuk Alung (Kabupaten Padang Pariaman);
  3. Kota Pariaman;
  4. Aro Suka (Kabupaten Solok);
  5. Kota Solok; dan
  6. Painan (Kabupaten Pesisir Selatan).

(3)     Ketentuan batas kawasan Metropolitan Padang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ditetapkan melalui keputusan Gubernur setelah dilakukan kajian kawasan dan penyusunan rencana tata ruang kawasan Metropolitan Padang.

 

 

Paragraf 2

Kriteria Sistem Perkotaan

Pasal 11

(1)       Kriteria Pusat Kegiatan Nasional (PKN) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a adalah :

a.    Kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul utama kegiatan ekspor-impor atau pintu gerbang menuju kawasan internasional;

b.    Kegiatan industri dan jasa skala nasional atau yang melayani beberapa provinsi; dan/atau

c.    Kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul utama transportasi skala nasional atau melayani beberapa provinsi.

(2)       Kriteria Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf b adalah :

  1. Kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul kedua kegiatan ekspor-impor yang mendukung PKN;
  2. Kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai pusat kegiatan industri dan jasa yang melayani skala provinsi atau beberapa kabupaten/kota; dan/atau
  3. Kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul transportasi yang melayani skala provinsi atau beberapa kabupaten/kota.
  4. Ditetapkan secara Nasional.

(3)       Kriteria Pusat Kegiatan Wilayah yang di promosikan Provinsi (PKWp) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf c adalah :

  1. Kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul kedua kegiatan ekspor-impor;

b.    Kawasan perkotaan yang berpotensi sebagai pusat kegiatan industri dan jasa yang melayani skala provinsi atau beberapa kabupaten/kota; dan/atau

c.    Kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul transportasi yang melayani skala provinsi atau beberapa kabupaten/kota;

d.    Dipromosikan oleh pemerintah provinsi.

(4)       Kriteria Pusat Kegiatan Lokal (PKL) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf d adalah :

  1. Kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai pusat kegiatan industri dan jasa yang melayani skala kabupaten/kota atau beberapa kecamatan; dan/atau
  2. Kawasan perkotaan yang berfungsi atau berpotensi sebagai simpul transportasi yang melayani skala kabupaten/kota atau beberapa kecamatan;
  3. Diusulkan oleh pemerintah kabupaten/kota.

 Pasal 12

Kriteria penetapan kawasan metropolitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 adalah :

  1. Memiliki jumlah penduduk paling sedikit 1.000.000 (satu juta) jiwa;
    1. Terdiri atas satu kawasan perkotaan inti dan beberapa kawasan perkotaan disekitarnya yang membentuk satu kesatuan pusat perkotaan; dan
    2. Terdapat keterkaitan fungsi antar kawasan perkotaan dalam satu sistem metropolitan.

 

Bagian Ketiga

Rencana dan Kriteria Sistem Jaringan Transportasi

Paragraf 1

Rencana Sistem Jaringan Transportasi

Pasal 13

(1)       Rencana pengembangan sistem jaringan transportasi meliputi sistem transportasi darat, laut, dan udara.

(2)       Sistem jaringan transportasi darat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari jaringan jalan, jaringan jalur kereta api, sistem terminal, dan jaringan transportasi sungai, danau, dan penyeberangan.

(3)       Sistem jaringan transportasi laut terdiri dari tatanan kepelabuhanan dan alur pelayaran.

(4)       Sistem jaringan transportasi udara terdiri dari tatanan kebandarudaraan dan ruang udara untuk penerbangan.

Pasal 14

(1)       Pengembangan jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada pasal 13 ayat (2) meliputi pengembangan jaringan jalan dan penanganan jalan.

(2)       Pengembangan jaringan jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk penyediaan prasarana transportasi jalan guna menunjang pembentukan sistem perkotaan yang direncanakan, meliputi peningkatan fungsi jalan dan/atau pembangunan jalan baru.

(3)       Rencana peningkatan fungsi jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi jalan arteri primer, jalan kolektor primer, jalan strategis nasional, dan jalan bebas hambatan.

(4)       Pengembangan jaringan jalan arteri primer meliputi ruas jalan yang menghubungkan simpul-simpul sebagai berikut :

  1. Kota Padang – Kota Bukittinggi;
  2. Kota Bukittinggi – Kota Payakumbuh;
  3. Kota Payakumbuh – Sarilamak – Batas Provinsi Riau;
  4. Kota Bukittinggi – Lubuk Sikaping;
  5. Lubuk Sikaping – Batas Provinsi Sumatera Utara;
  6. Kota Padang – Kota Solok;
  7. Kota Solok – Kiliranjao;
  8. Kiliranjao – Batas Provinsi Riau;
  9. Kiliranjao – Batas Provinsi Jambi;
  10. Kota Padang Panjang – Kota Solok;
  11. Kota Padang – Painan;
  12. Painan – Batas Provinsi Bengkulu;
  13. Kota Padang – Kota Pariaman;
  14. Kota Pariaman – Simpang Empat;
  15. Simpang Empat – Batas Provinsi Sumatera Utara;

(5)       Pengembangan jaringan jalan kolektor primer meliputi ruas jalan yang menghubungkan simpul-simpul sebagai berikut :

  1. Pasar Baru – Alahan Panjang – Kiliranjao;
  2. Simpang Empat – Talu – Panti;
  3. Rao – Koto Tinggi;
  4. Lubuk Basung – Kota Bukittinggi;
  5. Kota Pariaman – Sicincin;
  6. Kota Payakumbuh – Sitangkai – Muaro Sijunjung;
  7. Baso – Batusangkar;
  8. Batusangkar – Kota Sawahlunto;
  9. Kota Padang Panjang – Batu Sangkar;
  10. Batu Sangkar – Sitangkai;
  11. Kota Solok – Alahan Panjang;
  12. Lubuk Selasih – Padang Aro – Batas Provinsi Jambi;
  13. Padang Aro – Kab. Dharmasraya;
  14. Sicincin – Malalak – Jembatan Ngarai Sianok – Kota Bukit Tinggi.

(6)       Pengembangan jaringan jalan strategis nasional yaitu ruas jalan yang menghubungkan Silaping – Manggopoh.

(7)       Pengembangan jaringan jalan bebas hambatan yaitu ruas jalan yang menghubungkan Kota Padang – Kota Bukittinggi – Kota Payakumbuh – Batas Provinsi Riau.

(8)       Rencana pembangunan jalan baru sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi jaringan jalan arteri primer dan jaringan jalan kolektor primer.

(9)       Pembangunan jalan baru jaringan jalan arteri primer meliputi ruas jalan dan jembatan sebagai berikut :

  1. Ruas jalan Rao – Rokan Hulu
  2. Ruas jalan Buluh Kasok – Batas Provinsi Riau
  3. Ruas jalan Teluk Bayur – Pesisir Pantai Padang – Bandara Ketaping – Pariaman.
  4. Ruas jalan Sicincin – Malalak – Panta – Jembatan Ngarai Sianok – Bukittingi.
  5. Jembatan Kelok – 9

(10)    Pembangunan jalan baru jaringan jalan kolektor primer meliputi ruas jalan dan jembatan sebagai berikut :

  1. Ruas jalan Pangkalan Koto Baru – Sialang – Panti.
  2. Ruas jalan Gelugur – Batas Provinsi Riau.
  3. Ruas jalan Koto Tinggi – Bonjol.
  4. Ruas jalan Palupuh – Suliki.
  5. Ruas jalan Unggan – Kalo kalo – Pamusian.
  6. Ruas jalan Lubuk Minturun – Paninggahan.
  7. Ruas jalan Alahan Panjang – Kiliran Jao.
  8. Ruas jalan Pasar Baru – Alahan Panjang.
  9. Ruas jalan Mande – Sungai Pinang – Sungai Pisang.
  10. Jembatan Layang Duku
  11. Ruas jalan Palembayan – Muko Muko – Puncak Lawang
  12. Ruas jalan Lingkar Danau Maninjau.
  13. Ruas jalan Solok – Kubang Duo – Alahan Panjang
  14. Ruas jalan Lingkar Lubuk Alung.
  15. Ruas jalan Lingkar Selatan Kota Padang Panjang
  16. Jembatan Simpang Delapan Kota Padang Panjang
  17. Ruas jalan Lingkar Kota Payakumbuh.
  18. Ruas jalan Lingkar Kota Solok
  19. Ruas jalan Kayu Aro By Pass
  20. Ruas-ruas jalan di Kabupaten Kepulauan Mentawai.

Pasal 15

(1)       Pengembangan jaringan jalur kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) meliputi peningkatan kapasitas dan revitalisasi jalur kereta api yang sudah ada serta pengembangan jalur kereta api baru.

(2)       Pengembangan jaringan jalur kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk meningkatkan perekonomian daerah, angkutan barang dan angkutan penumpang serta keterpaduan antar moda transportasi dilakukan melalui :

  1. Pelayanan kawasan sentra produksi pertanian, perkebunan, pertambangan, industri dan sinergi dengan pelabuhan Teluk Bayur.
    1. Pengoperasian kereta api penumpang reguler, wisata dan barang dan memperkuat posisi jaringan kereta api Sumatera Barat dalam rencana pengembangan jaringan jalur kereta api Trans Sumatera (Trans Sumatera Railways).
    2. Pengoperasian kereta api komuter dan kereta api bandara.

(3)       Pengembangan jaringan jalur kereta api berikut prasarananya pada lintas barat Sumatera di Provinsi ini meliputi : jalur Lubuk Alung – Naras – Sungai Limau – Simpang Empat, Padang (Teluk Bayur) – Lubuk Alung – Padang Panjang – Solok – Sawahlunto, Padang Panjang – Bukittinggi – Payakumbuh dan Double Track Teluk Bayur – Indarung.

(4)       Pembangunan jalur short cut Pauh Limo (Padang) – Solok, Sawahlunto – Muaro – Teluk Kuantan/Pekanbaru dan  Muaro – Muaro Bungo yang merupakan bagian dari rencana pembangunan jaringan Kereta Api Trans Sumatera (Connecting Trans Sumatera Railway).

(5)       Pengoperasian kereta api komuter dan kereta api bandara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi : jalur Padang (Pulau Air – Simpang Haru) – Duku – Lubuk Alung – Pariaman – Bandara Internasional Minangkabau (BIM).

(6)       Pengembangan prasarana penunjang lainnya terutama untuk penunjang kawasan pariwisata dan kelancaran serta keamanan operasi kereta api.

Pasal 16

(1)       Pengembangan sistem terminal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) meliputi terminal regional tipe A dan terminal regional tipe B, terminal barang, serta pengembangan sistem angkutan umum massal perkotaan dan perdesaan.

(2)       Pengembangan terminal regional tipe A sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

  1. Peningkatan fungsi Terminal Regional Bingkuang di Kota Padang;
  2. Pemindahan Terminal Kota Bukittinggi dan Kota Payakumbuh;
  3. Optimalisasi Terminal Bareh Solok di Kota Solok, Terminal Piliang Batusangkar di Kabupaten Tanah Datar, dan Terminal Kiliranjao di Kabupaten Sijunjung;
  4. Pengembangan Terminal Lubuk Sikaping di Kabupaten Pasaman;
  5. Pembangunan Terminal Regional baru di Kota Sawahlunto, Tapan/Silaut di Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Padang Pariaman, dan Kabupaten Agam.

(3)       Pengembangan terminal regional tipe B sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

  1. Optimalisasi Terminal Bukit Surungan di Kota Padang Panjang, Terminal Jati di Kota Pariaman, dan Terminal Sago di Kabupaten Pesisir Selatan;
  2. Pengembangan Terminal Simpang Empat di Kabupaten Pasaman Barat;
  3. Pembangunan Terminal Pulau Punjung/ Sei Rumbai di Kabupaten Dharmasraya,  Terminal Kabupaten Lima Puluh Kota, Terminal Kabupaten Solok Selatan, Terminal Kabupaten Solok, dan Terminal Muaro Sijunjung di Kabupaten Sijunjung.

(4)       Pengembangan angkutan umum massal perkotaan dan perdesaan sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah pengembangan angkutan umum massal mendukung fungsi kawasan Metropolitan Padang dan sekitarnya, pusat-pusat permukiman perkotaan, dan daerah terpencil dapat diadakan melalui subsidi bus perintis.

Pasal 17

(1)       Pengembangan jaringan transportasi sungai, danau, dan penyeberangan  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) meliputi peningkatan dan pengembangan jalur baru.

(2)       Peningkatan jaringan transportasi sungai dan danau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk menunjang kegiatan pariwisata di Danau Maninjau Kabupaten Agam, Danau Singkarak Kabupaten Solok dan Kabupaten Tanah Datar, Danau Kembar (Danau Diatas dan Danau Dibawah) dan Danau Talang Kabupaten Solok, Danau Buatan Koto Panjang Kabupaten Limapuluh Kota (batas Provinsi Riau), dan Sungai Dareh Kabupaten Dharmasraya, serta peningkatan dermaga sungai dan danau;

(3)       Peningkatan dan pengembangan jaringan transportasi penyeberangan dilakukan melalui peningkatan pelayanan transportasi penyeberangan yang meliputi :

  1. Pelabuhan Bungus di Kota Padang;
  2. Pelabuhan Tua Pejat di Pulau Sipora Kabupaten Kepulauan Mentawai;
  3. Pelabuhan Sikakap di Pulau Pagai Utara Kabupaten Kepulauan Mentawai;
  4. Pelabuhan Muara Siberut di Pulau Siberut Kabupaten Kepulauan Mentawai; dan
  5. Pelabuhan Simailepet di Pulau Siberut Kabupaten Kepulauan Mentawai.

(4)       Pengembangan jalur baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu lintasan penyeberangan Carocok Painan – Mentawai terutama untuk angkutan barang yang ditunjang oleh angkutan pengumpan antar pulau di Kepulauan Mentawai.

(5)       Peningkatan pelayanan transportasi penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan melalui peningkatan sarana dan prasarana penyeberangan (dermaga), juga dilakukan pengembangan lintasan penyeberangan :

  1. Painan – Mentawai.
  2. Mentawai – Padang – Pantai Barat Wilayah Provinsi.
  3. Mentawai – Padang – Jakarta.

Pasal 18

(1)       Pengembangan sistim transportasi laut sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (3) ditujukan untuk mendukung  sistem produksi, sistem pergerakan penumpang dan barang dengan kegiatan sistem perekonomian antar kawasan maupun  internasional.

(2)       Pengembangan sistem transportasi laut dilakukan melalui pengembangan dan/atau pembangunan pelabuhan internasional, pelabuhan nasional, pelabuhan regional, dan pelabuhan lokal serta pembangunan pelabuhan baru.

(3)       Untuk menunjang pengembangan perekonomian daerah, maka pengembangan pelabuhan dilakukan melalui :

  1. Peningkatan pelabuhan Internasional Teluk Bayur yang merupakan pelabuhan Utama  serta pengembangan sistem kontainerisasi dengan kapasitas 40 feet.
  2. Peningkatan sarana dan prasarana pelabuhan nasional/ regional yang merupakan pelabuhan pengumpul dan pelabuhan pengumpan yaitu Pelabuhan Muara Padang, pelabuhan Panasahan-Corocok Painan, pelabuhan Sioban, pelabuhan Pokai, pelabuhan Tua Pejat, pelabuhan Simailepet, pelabuhan Sikakap, Muara Sikabaluan dan pelabuhan Bake;
  3. pengembangan angkutan wisata ke Kepulauan Mentawai, dan pengembangan angkutan pesisir Pasaman – Tiku – Bungus – Painan, peningkatan sarana dan prasarana serta fasilitas pelabuhan sesuai fungsi pelabuhan.

(4)       Untuk meningkatkan pelayanan angkutan laut, direncanakan pembangunan pelabuhan baru berupa pelabuhan pengumpul dan pelabuhan pengumpan yang meliputi :

  1. Pelabuhan Teluk Tapang di Kabupaten Pasaman Barat.
  2. Pelabuhan Malakopak di Kabupaten Kepulauan Mentawai.
  3. Pelabuhan Muara Saibi di Kabupaten Kepulauan Mentawai.
  4. Pelabuhan Singapokna di Kabupaten Kepulauan Mentawai.
  5. Pelabuhan Labuhan Bajau di Kabupaten Kepulauan Mentawai.
  6. Pelabuhan Sinakak di Kabupaten Kepulauan Mentawai.
  7. Pelabuhan Berilau, Pasapuat/Simanganyak, Pei-pei/Teluk Katurai, Taleleu di Kabupaten Kepulauan Mentawai.

Pasal 19

(1)       Pengembangan sistim transportasi udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) diarahkan untuk mendorong penguatan Bandar Udara Internasional Minangkabau dengan memadukan berbagai pelayanan transportasi serta mengembangkan kegiatan komersial yang bernilai tambah tinggi, dan penguatan pelayanan kargo, serta pengembangan jalur penerbangan baru.

(2)       Peningkatan keterpaduan berbagai pelayanan transportasi serta mengembangkan kegiatan komersial yang bernilai tambah tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui :

  1. Pengembangan fasilitas penerbangan menuju bandar udara berstandar internasional, meliputi runway, taxiway, apron dan terminal;
  2. Memperkuat simpul bandar udara dengan mengkombinasikan menuju terminal terpadu meliputi  angkutan bus, kereta api dan angkutan kota serta mendukung kegiatan komersial dan pariwisata;
  3. Mengembangkan fasilitas kargo serta fasilitas pemprosesan barang guna meningkatkan nilai tambah komoditas;
  4. Mengembangkan penerbangan langsung dengan lebih banyak kota potensi wisatawan, baik melalui penerbangan reguler maupun charter;
  5. Pengembangan bandar udara pengumpul skala pelayanan sekunder menjadi bandar udara pengumpul dengan skala pelayanan primer.

(3)       Pengembangan jalur penerbangan baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pembukaan jalur penerbangan ke kota-kota di Sumatera, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Banjarmasin serta jalur penerbangan internasional.

(4)       Selain Bandar Udara Internasional Minangkabau, bandar udara lain yang akan dikembangkan meliputi Bandar Udara Rokot di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Bandar Udara di Kabupaten Dharmasraya, dan Bandar Udara di Kabupaten Limapuluh Kota, serta pembangunan  bandar udara baru di Kabupaten Kepulauan Mentawai dan di Kabupaten Pasaman Barat yang berfungsi “Three in One” sebagai bandara darurat/evakuasi bencana/tsunami/perang, penerbangan umum dan angkutan udara perintis.

(5)       Dalam pengembangan dan pembangunan bandar udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai ayat (4), memperhatikan masalah kawasan keselamatan operasi penerbangan (KKOP) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan penerbangan yang berlaku.

Paragraf 2

Kriteria Sistem Jaringan Transportasi

Pasal 20

(1)     Jalan arteri primer diarahkan untuk melayani pergerakan antar kota antar provinsi, dengan kriteria sebagai berikut :

  1. Menghubungkan antar-PKN
  2. Menghubungkan antara PKN dan PKW;
  3. Menghubungkan PKN dan/atau PKW dengan bandar udara pusat penyebaran skala pelayanan primer/sekunder/tersier dan pelabuhan internasional/ nasional;
  4. Berupa jalan umum yang melayani angkutan utama;
  5. Melayani perjalanan jarak jauh;
  6. Memungkinkan untuk lalu-lintas dengan kecepatan rata-rata tinggi; dan
  7. Jumlah jalan masuk dibatasi secara berdaya guna.

(2)     Jalan kolektor primer dikembangkan untuk menghubungkan antar kota dalam provinsi, dengan kriteria sebagai berikut :

  1. Menghubungkan antar-PKW/ PKWp;
  2. Menghubungkan antara PKW/ PKWp dengan PKL;
  3. Berupa jalan umum yang melayani angkutan pengumpul atau pembagi;
  4. Malayani perjalanan jarak sedang;
  5. Memungkinkan untuk lalu-lintas dengan kecepatan rata-rata sedang; dan
  6. Membatasi jumlah jalan masuk.

Pasal 21

(1)       Jalan strategis nasional dikembangkan berdasarkan kriteria menghubungkan PKN dan/atau PKW dengan kawasan strategis nasional.

(2)       Jalan tol dibangun untuk memperlancar lalu lintas di daerah yang telah berkembang dan meningkatkan hasil guna dan daya guna pelayanan distribusi barang dan jasa guna menunjang peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Pasal 22

Pengembangan jalan kereta api ditetapkan dengan kriteria menghubungkan antar PKN, PKW/ PKWp dengan PKN, antar PKW dan/atau PKWp, dan menghubungkan pusat-pusat produksi.

Pasal 23

(1)     Pengembangan terminal regional tipe A, dengan kriteria sebagai berikut :

  1. Lokasi terletak di PKN dan/atau di PKW/ PKWp dalam jaringan trayek antar kota, antar provinsi (AKAP);
  2. Terletak di jalan arteri primer dengan kelas jalan minimum IIIA;
  3. Jarak antara terminal regional tipe A sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) km;
  4. Luas minimum 5 (lima) ha;
  5. Mempunyai akses masuk atau keluar jalan dari terminal minimum 100 (seratus) m; dan
  6. Berfungsi melayani kendaraan umum untuk angkutan AKAP, AKDP, Angkutan Perkotaan, serta Angkutan Pedesaan

(2)     Pengembangan terminal regional tipe B, dengan kriteria sebagai berikut :

  1. Lokasi terletak di PKW/ PKWp dan/ atau di PKL dalam jaringan trayek antar kota, antar provinsi (AKAP);
  2. Terletak di jalan arteri atau kolektor primer dengan kelas jalan minimum IIIB;
  3. Jarak antara terminal regional tipe B dan/atau antara terminal regional tipe B dengan terminal regional tipe A sekurang-kurangnya 15 (lima belas) km;
  4. Luas minimum 3 (tiga) ha;
  5. Mempunyai akses masuk atau keluar jalan dari terminal minimum 50 (lima puluh) m; dan
  6. Berfungsi melayani kendaraan umum untuk angkutan AKDP, Angkutan Perkotaan, serta Angkutan Pedesaan.

Pasal 24

(1)       Rencana pengembangan pelabuhan internasional dengan fungsi pelabuhan utama ditetapkan dengan kriteria :

  1. Melayani kegiatan pelayaran dan alih muat peti kemas angkutan laut internasional dalam jumlah besar;
  2. Menjangkau wilayah pelayanan sangat luas;
  3. Menjadi simpul utama pendukung pengembangan produksi kawasan andalan ke pasar internasional;
  4. Berhadapan lansung dengan alur laut kepulauan Indonesia dan/atau jalur pelayaran internasional;
  5. Berjarak paling jauh 500 (lima ratus) mil dari alur laut kepulauan Indonesia atau jalur pelayaran internasional;
  6. Bagian dari prasarana penunjang fungsi pelayanan PKN dalam sistem transportasi antar negara;
  7. Berada di luar kawasan lindung; dan
  8. Berada pada perairan yang memiliki kedalaman paling sedikit 12 (dua belas) meter untuk pelabuhan internasional hub dan 9 (sembilan) meter untuk pelabuhan internasional.

(2)       Rencana pengembangan pelabuhan nasional dengan fungsi pelabuhan pengumpul ditetapkan dengan kriteria :

  1. Melayani kegiatan pelayaran dan alih muat peti kemas angkutan laut nasional dan internasional dalam jumlah menengah;
  2. Menjangkau wilayah pelayanan menengah;
  3. Memiliki fungsi sebagai simpul pendukung pemasaran produk kawasn andalan ke pasar nasional;
  4. Merupakan bagian dari prasarana penunjang fungsi pelayanan PKN dalam sistem transportasi antar provinsi;
  5. Memberikan akses bagi pengembangan pulau-pulau kecil dan kawasan andalan laut, termasuk pengembangan kawasan tertinggal;
  6. Berada di luar kawasan lindung; dan
  7. Berada pada perairan yang memiliki kedalaman paling sedikit 9 (sembilan) meter.

(3)       Rencana pengembangan pelabuhan regional dengan fungsi pelabuhan pengumpul ditetapkan dengan kriteria :

  1. Melayani kegiatan pelayaran dan alih muat angkutan laut nasional dan regional, pelayaran rakyat, angkutan sungai, dan angkutan perintis dalam jumlah menengah;
  2. Merupakan bagian dari prasarana penunjang fungsi pelayanan PKN dan PKW/ PKWp dalam sistem transportasi antar provinsi;
  3. Berfungsi sebagai simpul pendukung pemasaran produk kawasan andalan ke pasar regional;
  4. Memberi akses bagi pengembangan kawasan andalan laut, kawasan pedalaman sungai, dan pulau-pulau kecil, termasuk pengembangan kawasan tertinggal;
  5. Berada di luar kawasan lindung; dan
  6. Berada pada perairan yang memiliki kedalaman paling sedikit 4 (empat) meter.

(4)       Rencana pengembangan pelabuhan lokal dengan fungsi pelabuhan pengumpan ditetapkan dengan kriteria :

  1. Melayani kegiatan pelayaran dan alih muat angkutan laut lokal dan regional, pelayaran rakyat, angkutan sungai, dan angkutan perintis dalam jumlah kecil;
  2. Merupakan bagian dari prasarana penunjang fungsi pelayanan PKW/ PKWp atau PKL dalam sistem transportasi antar kabupaten/kota dalam satu provinsi;
  3. Berfungsi sebagai simpul pendukung pemasaran produk kawasan budidaya di sekitarnya ke pasar lokal;
  4. Berada di luar kawasan lindung;
  5. Berada pada perairan yang memiliki kedalaman paling sedikit 1,5 (satu setengah) meter; dan
  6. Dapat melayani pelayaran rakyat.

Bagian Keempat

Rencana dan Kriteria Sistem Jaringan Energi

Paragraf 1

Rencana Sistem Jaringan Energi

Pasal 25

(1)       Pengembangan sistim jaringan prasarana energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf c ditujukan bagi pengembangan jaringan prasarana energi listrik yang meliputi prasarana pembangkit dan jaringan listrik.

(2)       Pengembangan sistem prasarana pembangkit dan jaringan listrik sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah untuk meningkatkan ketersediaan energi/listrik bagi kegiatan permukiman dan kegiatan non permukiman dan mendukung kegiatan perekonomian, pengembangan kawasan.

(3)       Pengembangan prasarana pembangkit energi listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memanfaatkan potensi sumber energi primer, terutama sumber energi terbarukan dan/atau sumber energi baru yang banyak tersedia di kabupaten/kota diantaranya panas bumi, tenaga air, gas, batubara, dan gelombang laut.

(4)       Pengembangan jaringan energi listrik dilakukan melalui pembangunan jaringan interkoneksi Jawa – Sumatera meliputi pengembangan jaringan kawat saluran udara, kabel bawah tanah, dan/atau kabel bawah laut.

Paragraf 2

Kriteria Sistem Jaringan Energi

Pasal 26

(1)       Pengembangan prasarana energi ditujukan untuk peningkatan kapasitas pembangkit listrik dengan kriteria :

  1. Mendukung ketersediaan pasokan tenaga listrik untuk kepentingan di kawasan perkotaan, perdesaan, dan pulau-pulau kecil;
  2. Mendukung pemanfaatan teknologi tinggi yang mampu menghasilkan energi  untuk mengurangi ketergantungan sumber energi tak terbarukan;
  3. Berada pada lokasi aman dari bahaya bencana alam dan aman terhadap kegiatan lain;
  4. Tidak berada pada kawasan lindung.

(2)       Pengembangan prasarana jaringan energi listrik ditetapkan dengan kriteria :

  1. Mendukung ketersediaan pasokan tenaga listrik untuk kepentingan di kawasan perkotaan, perdesaan, dan pulau-pulau kecil;
  2. Melintasi kawasan permukiman, wilayah sungai, laut, hutan, pertanian, dan jalur transportasi;
  3. Mendukung pemanfaatan teknologi tinggi yang mampu menghasilkan energi  untuk mengurangi ketergantungan sumber energi tak terbarukan;

Bagian Kelima

Rencana dan Kriteria Sistem Jaringan Telekomunikasi

Paragraf 1

Rencana Sistem Jaringan Telekomunikasi

Pasal 27

(1)       Pengembangan prasarana telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf d, meliputi sistem terestrial yang terdiri dari sistem kabel, sistem seluler; dan sistem satelit sebagai penghubung antara pusat – pusat pertumbuhan.

(2)       Pengembangan prasarana telekomunikasi dilakukan hingga ke pelosok wilayah yang belum terjangkau sarana prasarana telekomunikasi.

Paragraf 2

Kriteria Sistem Jaringan Telekomunikasi

Pasal 28

(1)       Pengembangan jaringan telekomunikasi dengan sistem terestrial ditetapkan dengan keriteria :

  1. Jaringan dikembangkan secara berkesinambungan dan terhubung dengan jaringan nasional;
  2. Menghubungkan antar pusat kegiatan; dan
  3. Mendukung kawasan pengembangan ekonomi.

(2)       Pengembangan jaringan sistem satelit ditetapkan dengan kriteria :

  1. Mendukung dan melengkapi pengembangan jaringan terestrial;
  2. Mendukung pengembangan telekomunikasi seluler; dan
  3. Pemanfaatan bersama menara untuk paling sedikit 3 (tiga) operator setiap menara.

 

Bagian Keenam

Rencana dan Kriteria Sistem Jaringan Sumber Daya Air

Paragraf 1

Rencana Sistem Jaringan Sumber Daya Air

Pasal 29

(1)       Sistem jaringan sumber daya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf e meliputi :

  1. sistem jaringan sungai,
  2. sistem jaringan irigasi,
  3. sistem jaringan air baku,
  4. sistem pengendalian banjir, dan
  5. sistem pengamanan pantai.

(2)       Sistem jaringan prasarana sumber daya air sebagaimana dimaksud ayat (1) direncanakan melalui pendekatan DAS dan cekungan air tanah serta keterpaduannya dengan pola ruang dengan memperhatikan neraca penatagunaan air.

(3)       Dalam rangka pengembangan penatagunaan air pada DAS diselenggarakan kegiatan penyusunan dan penetapan neraca penatagunaan sumberdaya air dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 30

(1)       Rencana pengembangan prasarana sumber daya air sebagaimana dimaksud pada pasal 8 ayat (1) huruf e  meliputi konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air.

(2)       Konservasi sumber daya air dilakukan melalui kegiatan perlindungan dan pelestarian sumber air, pengawetan air, pengelolaan kualitas air, dan pencegahan pencemaran air.

(3)       Pendayagunaan sumber daya air dilakukan melalui pengembangan jaringan irigasi pada seluruh wilayah kabupaten yang memiliki lahan pertanian lahan basah.

(4)       Pengendalian daya rusak air dilakukan melalui pembangunan dan/atau pengembangan prasarana pengendalian banjir dan pengamanan pantai.

Pasal 31

Rencana pengembangan wilayah sungai lintas provinsi dan lintas kabupaten/kota dilakukan secara terpadu dalam penataan ruang, upaya konservasi dan pemanfaatan sungai lintas provinsi dan lintas kabupaten/kota.

Paragraf 2

Kriteria Sistem Jaringan Sumber Daya Air

Pasal 32

Wilayah sungai dan cekungan air tanah lintas provinsi dan lintas kabupaten/kota ditetapkan dengan kriteria melintasi dua atau lebih provinsi dan kabupaten/kota.

Bagian Ketujuh

Rencana dan Kriteria Sistem Prasarana Lingkungan

Paragraf 1

Rencana Sistem Prasarana Lingkungan

Pasal 33

(1)     Sistem prasarana lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) huruf f meliputi :

  1. Tempat pembuangan akhir (TPA) terpadu (regional).
  2. Tempat pengolahan dan atau pengelolaan limbah industri B3 dan non B3.
  3. Sistem drainase.
  4. Sistem pengelolaan air minum (SPAM).
  5. Sarana dan prasarana lingkungan yang sifatnya menunjang kehidupan masyarakat

(2)       Rencana pengembangan sistem prasarana lingkungan sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah upaya bersama dalam menghadapi dampak lingkungan, maka perlu dikembangkan lokasi yang digunakan bersama antara kabupaten/ kota dengan sistem pengelolaan yang berwawasan lingkungan.

 

Paragraf 2

Kriteria Sistem Prasarana Lingkungan

Pasal 34

Sistem prasarana lingkungan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan kriteria mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB VI

RENCANA POLA RUANG

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 35

(1)     Rencana pola ruang meliputi :

  1. Pola ruang kawasan lindung; dan
  2. Pola ruang kawasan budidaya.

(2)     Penetapan kawasan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan mengacu pada kawasan lindung yang telah ditetapkan secara nasional dan memperhatikan kawasan lindung yang ditetapkan oleh provinsi dan kabupaten/kota.

(3)       Penetapan kawasan budidaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan mengacu pada kawasan budidaya yang memiliki nilai strategis nasional, serta memperhatikan kawasan budidaya provinsi dan kabupaten/kota.

(4)       Ketentuan yang mengatur pola ruang kawasan hutan diberlakukan setelah ditetapkannya perubahan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang kehutanan.

(5)       Sebelum adanya ketetapan perubahan kawasan hutan seperti dimaksud pada ayat (4) , maka pola ruang kehutanan mengacu pada Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 422/kpts-II/99, tanggal 15 Juni 1999 tentang Peta Penunjukan Kawasan Hutan Provinsi Sumatera Barat.

(6)     Rencana pola ruang digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1 : 250.000 sebagaimana tercantum pada Lampiran II, merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

Bagian Kedua

Rencana Pengembangan Kawasan Lindung

Pasal 36

Rencana pengembangan kawasan lindung meliputi :

  1. Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya;
    1. Kawasan perlindungan setempat;
    2. Kawasan suaka alam, pelestarian alam  dan cagar budaya;
    3. Kawasan rawan bencana alam;
    4. Kawasan lindung geologi;
    5. Kawasan lindung lainnya.

Pasal 37

(1)       Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf a, meliputi :

a.    Kawasan hutan lindung, yang menyebar di seluruh wilayah kabupaten/kota  kecuali Kota Bukittinggi dan Kota Pariaman.;

b.    Kawasan bergambut, yang menyebar di Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten Agam bagian barat, dan Kabupaten Pesisir Selatan; dan

c.    Kawasan resapan air, yang menyebar di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Kabupaten Solok, Kabupaten Solok Selatan, Kabupaten Limapuluh Kota, Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten Pasaman, Kabupaten Agam,  Kabupaten Sijiunjung dan Kota Padang.

(2)     Ketentuan lebih lanjut mengenai kawasan hutan lindung, kawasan bergambut dan kawasan resapan air diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 38

(1)       Kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf b, meliputi :

a.    Sempadan pantai di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Kabupaten Pesisir Selatan, Kota Padang, Kabupaten Padang Pariaman, Kota Pariaman, Kabupaten Agam, dan Kabupaten Pasaman Barat;

b.    Sempadan sungai dikembangkan pada seluruh aliran sungai yang ada di provinsi, baik yang mengalir di kawasan perkotaan maupun di luar kawasan perkotaan;

c.    Kawasan sekitar danau/waduk, yaitu Danau Singkarak, Danau Maninjau, Danau Diatas dan Danau Dibawah (Danau  Kembar), Danau Talang, dan Danau buatan Koto Panjang;

d.    Kawasan sempadan mata air yang menyebar di seluruh wilayah provinsi; dan

e.    Kawasan terbuka hijau kota, yang menyebar di kawasan perkotaan dan bukan perkotaan.

(2)     Ketentuan lebih lanjut mengenai kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur.

Pasal 39

(1)       Kawasan suaka alam, pelestarian alam  dan cagar budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf c, meliputi :

  1. Cagar Alam, yang tetap akan dikembangkan di Cagar Alam Rimbo Panti  dan Cagar Alam Malampah Alahan Panjang di Kabupaten Pasaman, Cagar Alam Lembah Anai dan Cagar Alam Baringin Sakti di Kabupaten Tanah Datar, Cagar Alam Batang Pangean I dan Cagar Alam Batang Pangean II di Kabupaten Sijunjung, Cagar Alam Arau Hilir di Kota Padang, Cagar Alam Gunung Sago di Kabupaten Limapuluh Kota dan Kabupaten Tanah Datar, Cagar Alam Maninjau Utara dan Selatan di Kabupaten Agam dan Kabupaten Padang Pariaman, Cagar Alam Gunung Singgalang Tandikat di Kabupaten Agam, Kabupaten Padang Pariaman dan Kabupaten Tanah Datar, Cagar Alam Gunung Marapi di Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar, Cagar Alam Air Putih dan Cagar Alam Lembah Harau di Kabupaten Limapuluh Kota, Cagar Alam Barisan I di Kota Padang, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Solok, Cagar Alam Air Tarusan di Kabupaten Solok dan Kabupaten Pesisir Selatan, Cagar Alam Batang Palupuh di Kabupaten Agam.
  2. Kawasan Suaka Margasatwa dan Suaka Margasatwa Laut di Pulau Pagai Selatan Kabupaten Kepulauan Mentawai, Pulau Penyu, Pulau Marak, Pulau Nyamuk di Kabupaten Pesisir Selatan, dan Pulau Panjang di Kabupaten Padang Pariaman;
  3. Kawasan Suaka Alam Selasih Talang di Kabupaten Solok;
  4. Kawasan Suaka Alam Laut dan Perairan lainnya adalah kawasan konservasi laut daerah Pulau Pasumpahan dan Pulau Pisang, kawasan pengawasan keanekaragaman hayati biota laut di Pulau Sikuai, kawasan konservasi laut daerah Pulau Ujung Agam, daerah perlindungan laut Tiku Agam, kawasan perlindungan laut daerah berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara (Pulau Batu Bakudung), dan perbatasan dengan Provinsi Bengkulu (Pulau Baringin);
  5. Kawasan Pantai Berhutan Bakau, berada di daerah Batang Tomak, Air Bangis, dan Simpang Empat di  Kabupaten  Pasaman Barat; Lunang Silaut di Kabupaten Pesisir Selatan; sebagian besar kawasan pantai Kepulauan Mentawai; Kabupaten Agam,  Kabupaten Padang Pariaman, Kota Pariaman, dan Bungus Teluk Kabung di Kota Padang;
  6. Kawasan Taman Nasional, adalah Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang berada di wilayah Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Solok Selatan, dan Taman Nasional Siberut di Kabupaten Kepulauan Mentawai;
  7. Kawasan Taman Hutan Raya (Tahura), adalah Taman Hutan Raya Bung Hatta di Kota Padang;
  8. Kawasan Taman Wisata Alam, meliputi Taman Wisata Alam Mega Mendung di Kabupaten Tanah Datar, Taman Wisata Alam Lembah Harau di Kabupaten Limapuluh Kota, Taman Wisata Alam Rimbo Panti di Kabupaten Pasaman, Taman Wisata Alam Bukit Batu Patah di Kabupaten Tanah Datar; serta taman wisata alam di Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Agam, Kota Padang Panjang, dan Kota Bukittinggi,
  9. Kawasan Taman Wisata Alam Laut di Pulau Pieh Kabupaten Padang Pariaman dan Teluk Saibi Sarabua Kabupaten Kepulauan Mentawai;
  10. Kawasan Cagar Budaya diarahkan pengembangannya di seluruh kabupaten/kota dalam wilayah Provinsi Sumatera Barat.

(2)       Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan dan pengaturan kawasan suaka alam, pelestarian alam  dan cagar budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 40

(1)       Kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf d, meliputi :

  1. Kawasan rawan tanah longsor, tersebar di seluruh wilayah provinsi terutama sepanjang jalur sesar aktif (patahan Semagko), mulai dari Kabupaten Pasaman sampai pada perbatasan Provinsi Sumatera Utara,  Kabupaten Lima Puluh Kota sampai wilayah perbatasan Provinsi Riau, Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Agam, Kota Padang Panjang, Kota Padang, Kota Solok, Kabupaten Sijunjung, Kota Sawahlunto, Kabupaten Pesisir Selatan hingga ke perbatasan Provinsi Bengkulu.;
  2. Kawasan rawan gelombang pasang, tersebar pada kawasan pantai di Kabupaten Pesisir Selatan, Kota Padang, Kota Pariaman, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Agam, Kabupaten Pasaman Barat; dan Kabupaten Kepulauan Mentawai;
  3. Kawasan rawan banjir, tersebar di kawasan Kinali, Air Bangis, dan Sasak di Kabupaten Pasaman Barat, kawasan Painan, Air Haji, Lunang Silaut, Tarusan, dan Kambang di Kabupaten Pesisir Selatan, kawasan Kota Solok, Kota Padang, Kota Pariaman, Kabupaten Solok, Kabupaten Solok Selatan, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Limapuluh Kota, Kabupaten Sawahlunto, Kabupaten Sijunjung, Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Kepulauan Mentawai, dan Kabupaten Agam.

(2)       Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan, pengaturan, dan pengelolaan kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 41

(1)       Kawasan lindung geologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf e, meliputi :

  1. Kawasan Cagar Alam Geologi, adalah kawasan keunikan bentang alam berupa kawasan karst di daerah kubah Batusangkar, dan bukit-bukit karst di Sungaidareh Kabupaten Dharmasraya dan Kabupaten Sijunjung;
  2. Kawasan Rawan Bencana Alam Geologi terdiri dari :

1)      Kawasan rawan letusan gunung berapi yang terdapat di kawasan gunung api aktif yaitu kawasan sekitar Gunung Marapi, Gunung Tandikat, Gunung  Talang dan Gunung Kerinci;

2)      Kawasan rawan gempa bumi sepanjang pantai barat Sumatera mencakup Kabupaten Pesisir Selatan, Kota Padang, Kabupaten Padang Pariaman, Kota Pariaman, Kabupaten Agam, Kabupaten Pasaman Barat, dan Kabupaten Kepulauan Mentawai;

3)      Kawasan rawan gerakan tanah tersebar di Kabupaten Pasaman, Kabupaten Limapuluh Kota, Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Agam, Kabupaten Padang Pariaman, Kota Padang Panjang, Kota Padang, Kota Solok, Kota Sawahlunto, Kabupaten Solok, Kabupaten Solok Selatan, Kota Sawahlunto, Kabupaten Sijunjung, dan Kabupaten Pesisir Selatan;

4)      Kawasan yang terletak di zona patahan aktif berada di sekitar patahan Semangko yang mencakup wilayah Kabupaten Pasaman, Kabupaten Lima Puluh Kota, Kabupaten Agam, Kota Bukittinggi, Kota Padang Panjang, Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Solok, Kota Solok, dan Kabupaten Solok  Selatan;

5)      Kawasan rawan bencana tsunami, menyebar diseluruh kawasan pesisir pantai wilayah provinsi termasuk Kepulauan Mentawai beserta pulau-pulau kecil lainnya.

6)      Kawasan rawan abrasi pantai menyebar mulai dari Kota Padang hingga Kota Pariaman, Kabupaten Agam, Kabupaten Pasaman Barat, dan Kabupaten Pesisir Selatan serta Kabupaten Kepulauan Mentawai.

  1. Kawasan yang Memberikan Perlindungan Terhadap Air Tanah, meliputi :
    1. Kawasan imbuhan air tanah, dan
    2. Sempadan mata air.

(2)       Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan, dan pengelolaan kawasan lindung geologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 42

(1)       Kawasan lindung lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf f, meliputi :

  1. Cagar biosfer, di Taman Nasional Siberut;
  2. Taman buru di Bukit Sidoali;
  3. Kawasan perlindungan plasma nutfah, adalah kawasan di Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), dan di Kawasan Taman Nasional Siberut;
  4. Terumbu karang, ditetapkan di seluruh kawasan perairan laut yang potensial dan sesuai untuk pengembangan terumbu karang; dan
  5. Alur migrasi hewan laut yang dilindungi.

(2)       Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan, dan pengelolaan kawasan lindung lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga

Rencana Pengembangan Kawasan Budidaya

Pasal 43

Rencana Pengembangan Kawasan Budidaya terdiri atas :

  1. Kawasan hutan produksi;
  2. Kawasan hutan rakyat;
  3. Kawasan perkebunan;
  4. Kawasan pertanian pangan;
  5. Kawasan perikanan;
  6. Kawasan pertambangan;
  7. Kawasan industri;
  8. Kawasan pariwisata;
  9. Kawasan permukiman; dan
  10. Kawasan peruntukan lainnya.

Pasal 44

(1)       Rencana Pengembangan Kawasan hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf a, meliputi :

  1. Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) dikembangkan diseluruh wilayah provinsi kecuali Kabupaten Kepulauan Mentawai, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Tanah Datar, Kota Padang, Kota Padang Panjang, Kota Pariaman, Kota Payakumbuh, dan Kota Solok;
  2. Kawasan Hutan Produksi tetap (HP) dikembangkan di seluruh wilayah provinsi kecuali Kabupaten Padang Pariaman, Kota Bukittinggi, Kota Padang, Kota Padang Panjang, Kota Pariaman, Kota Payakumbuh, dan Kota Solok;
  3. Kawasan Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK) dikembangkan di seluruh wilayah provinsi kecuali Kabupaten Padang Pariaman, Kota Bukittinggi, Kota Padang, Kota Padang Panjang, Kota Pariaman, Kota Payakumbuh, dan Kota Solok;

(2)       Rencana pengembangan kawasan hutan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf b, dilakukan di seluruh wilayah provinsi yang memiliki potensi dan sesuai untuk pengembangan hutan rakyat;

(3)       Rencana pengembangan kawasan perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf c, dilakukan di seluruh wilayah provinsi yang memiliki potensi dan sesuai untuk pengembangan perkebunan, meliputi Kabupaten Limapuluh Kota, Kabupaten Pasaman, Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Sijunjung, Kabupaten Dharmasraya, Kabupaten Agam, Kabupaten Solok, Kabupaten Solok Selatan, Kabupaten Padang Pariaman, dan Kabupaten Kepulauan Mentawai.

(4)       Rencana pengembangan kawasan pertanian pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf d, dilakukan di seluruh wilayah provinsi yang memiliki potensi dan sesuai untuk pengembangan pertanian pangan, meliputi :

  1. Kawasan pertanian lahan sawah irigasi dikembangkan di Kabupaten Pasaman, Kabupaten Dharmasraya, Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten Pesisir Selatan, dan Kabupaten Padang Pariaman;
  2. Kawasan pertanian sawah tadah hujan dikembangkan di seluruh wilayah provinsi yang memiliki kesesuaian lahan untuk kegiatan pertanian  tadah hujan;
  3. Kawasan pertanian lahan kering dan hortikultura dikembangkan di wilayah Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Pasaman, Kabupaten Limapuluh Kota, Kabuputen Agam, Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Solok, Kabupaten Solok Selatan, Kabupaten Sijunjung,  Kabupaten Dharmasraya, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Kota Pariaman, Kota Bukittinggi, Kota Padang Panjang, Kota Padang, dan Kota Payakumbuh;
  4. Kawasan agropolitan dikembangkan di wilayah Kabupaten Agam, Kabupaten Solok, Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Limapuluh Kota, dan Kabupaten Pasaman.

(5)       Rencana pengembangan kawasan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf e, dilakukan di seluruh wilayah provinsi yang memiliki potensi dan sesuai untuk pengembangan perikanan, meliputi :

  1. Perikanan tangkap dikembangkan di wilayah pesisir dan laut Kota Padang, Kota Pariaman, Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Padang Pariaman,  Kabupaten Agam,  Kabupaten Pasaman Barat, dan  Kabupaten Kepulauan Mentawai;
  2. Perikanan budidaya yang terdiri dari budidaya laut, budidaya tambak dan budidaya air tawar, dikembangkan di seluruh wilayah kabupaten/kota.

(6)       Rencana pengembangan kawasan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf f, dilakukan di Wilayah Pertambangan (WP) yang menyebar di seluruh kabupaten/kota yang memiliki potensi bahan tambang, baik bahan galian maupun mineral.

(7)       Rencana pengembangan kawasan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf g, dilakukan pada kawasan yang sesuai untuk pengembangan industri besar, sedang, dan industri kecil, baik yang dikembangkan dalam bentuk kawasan industri, lingkungan industri, maupun industri rumah tangga.

(8)       Rencana pengembangan kawasan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf h, memperhatikan Destinasi Pengembangan Pariwisata (DPP) yang terdiri dari :

a.    DPP I, meliputi : karidor Kota Bukittinggi, Kabupaten Agam, Kabupaten Pasaman, Kabupaten Limapuluh Kota, dan Kota Payakumbuh. Dominasi atraksi adalah budaya, belanja, MICE, kerajinan, kesenian, peninggalan sejarah, danau, pegunungan, serta flora dan fauna dengan pusat layanan di Kota Bukittinggi

b.    DPP II, meliputi : karidor Kota Padang, Kabupaten Padang Pariaman, Kota Pariaman, Kabupaten Pasaman Barat. Dominasi atraksi adalah jenis wisata bahari seperti pantai, pulau-pulau, serta MICE, peninggalan sejarah, budaya, kesenian, pegunungan, sungai, dan hutan dengan pusat layanan di Kota Padang.

c.    DPP III, meliputi : karidor Kabupaten Tanah Datar, Kota Padang Panjang dimana didominasi jenis wisata budaya, peninggalan sejarah, kesenian, rekreasi, danau, agro, olah raga, pegunungan, hutan, dan kerajinan dengan pusat layanan di Batusangar.

d.    DPP IV, meliputi : karidor Kabupaten Solok, Kabupaten Solok Selatan dan Kota Solok dengan pusat layanan di Arosuka yang didominasi jenis wisata rekreasi danau dan sungai, pegunungan, hutan, agro, taman nasional budaya dan kesenian.

e.    DPP V, meliputi : koridor Kota Sawahlunto, Kabupaten Sijunjung dan Kabupaten Dharmasraya yang didominasi oleh jenis wisata peninggalan sejarah, tambang, rekreasi agro, olah raga, hutan dengan pusat layanan di Kota Sawahlunto.

f.     DPP VI, meliputi : Kabupaten Pesisir Selatan dengan pusat layanan di Painan, berupa objek wisata bahari, seperti Kawasan Wisata Mandeh, yang berfungsi sebagai Pusat Pengembangan Wisata Bahari Wilayah Barat.

g.    DPP VII, meliputi : Kabupaten Kepulauan Mentawai dengan pusat layanan Tua Pejat/Muara Siberut. Sesuai dengan kondisi geografis berupa kepulauan dan berbatasan langsung dengan laut lepas Samudera Hindia, maka kawasan ini didominasi oleh wisata bahari yang dilengkapi dengan wisata budaya, alam laut, dan rekreasi.

(9)       Rencana pengembangan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf i, meliputi permukiman perkotaan dan permukiman perdesaan dikembangkan diseluruh wilayah provinsi yang memenuhi kriteria sebagai permukiman.

(10)    Rencana pengembangan kawasan budidaya peruntukan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 huruf j diatur dalam standar dan kriteria teknis pemanfaatan ruang dan merupakan persyaratan minimal untuk seluruh kabupaten/kota yang akan diatur lebih lanjut oleh kabupaten/kota yang bersangkutan, meliputi :

  1. Kawasan tempat beribadah;
  2. Kawasan pendidikan;
  3. Kawasan pertahanan keamanan daerah dan lingkungan;
  4. Kawasan perternakan; dan
  5. Kawasan budidaya perairan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Pasal 45

Pengembangan lebih lanjut kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 diatur melalui surat keputusan oleh pejabat berwenang sesuai kewenangannya.

Pasal 46

Rencana pengembangan kawasan budidaya yang memiliki nilai strategis meliputi :

(1)     Kawasan andalan yang ditetapkan secara nasional berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), terdiri dari :

  1. Kawasan Padang Pariaman dan sekitarnya;
  2. Kawasan Agam – Bukittinggi (PLTA Koto Panjang);
  3. Kawasan Kepulauan Mentawai dan sekitarnya;
  4. Kawasan Solok dan sekitarnya (Danau Kembar Diatas /Dibawah-PIP Danau Singkarak- Lubuk Alung-Ketaping);
  5. Kawasan Laut Kepualauan Mentawai (Siberut dan sekitarnya).

(2)     Kawasan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang dikembangkan untuk kepentingan nasional dan provinsi, terdiri atas :

          a.    Instalasi Militer, yang digunakan untuk pangkalan militer (TNI AL), tempat pendaratan, pembuangan mesiu, dan kegiatan militer lainnya.

b.    Pelabuhan Kelas A yang diperuntukan bagi pelabuhan samudera, terminal peti kemas, dan pelabuhan skala nasional lainnya.

Pasal 47

 (1)    Kawasan instalasi militer sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) huruf a kriteria untuk seleksi lokasi didasarkan pada karakteristik pemanfaatan khusus yang ditetapkan dapat menyebar di seluruh wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil provinsi. Sedangkan tujuan pengelolaannya adalah disamping penekanan pada penentuan lokasi untuk instalasi militer diperbolehkan membangun konstruksi infrastruktur di lahan pesisir dan pulau-pulau kecil terluar; juga untuk melindungi segenap perairan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

(2)     Kawasan  Pelabuhan Kelas A sebagaimana yang dimaksud Pasal 46 ayat (2) huruf b kriteria untuk seleksi lokasi didasarkan pada karakteristik pelabuhan yang diperlukan dan dapat menyebar di seluruh wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil provinsi. Sedangkan tujuan pengelolaannya adalah penekanan pada semua kegiatan untuk pembangunan pelabuhan dan fasilitas pendukungnya yang ditujukan check point kegiatan perikanan tangkap di ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif), terminal peti kemas internasional, pelabuhan penampungan, pengolahan dan/atau distribusi minyak dan gas serta areal untuk lego jangkar pelayaran internasional, disamping itu juga memperbolehkan akses publik secara bebas sepanjang memenuhi kondisi dan tidak melanggar larangan-larangan yang ditetapkan guna melindungi infrastruktur penting dan lalulintas yang aman bagi kapal menuju pelabuhan.

(3)     Dalam pengembangan dan pengelolaan kawasan sebagaimana dimaksud ayat  (1) dan (2) harus memperhatikan kawasan konservasi laut disekitarnya dan mempertahankan sedapat mungkin keaslian (keasrian) pemandangan, faktor biologi, kualitas air dan nilai-nilai penting lingkungan lainnya.

Pasal 48

Pengembangan dan pengelolaan lebih lanjut kawasan budidaya yang memiliki nilai strategis diwilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dilakukan oleh pejabat berwenang sesuai kewenangannya dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

BAB VII

PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS

Pasal 49

(1)       Rencana pengembangan  kawasan strategis meliputi kawasan strategis nasional dan kawasan strategis provinsi;

(2)       Pengembangan kawasan strategis nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kawasan strategis nasional yang ditetapkan di Provinsi meliputi :

  1. Stasiun Pengamat Dirgantara Kototabang di Kabupaten Agam;
  2. Hutan lindung Bukit Batabuh di perbatasan Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Riau;
  3. Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) tersebar di Kabupaten Pesisir Selatan dan Kabupaten Solok Selatan;
  4. Pulau-pulau Kecil  terluar Sinyaunyau dan Sibarubaru di Kabupaten Kepulauan Mentawai

(3)       Pengembangan kawasan strategis provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kawasan strategis provinsi yang ditetapkan di Provinsi meliputi :

  1. Kawasan ITBM (Indarung-Teluk Bayur-Bungus-Mandeh) yang berada di wilayah Kota Padang dan Kabupaten Pesisir Selatan;
  2. Kawasan Industri (KI) yang berada di wilayah Kota Padang dan Kabupaten Padang Pariaman;
  3. Kawasan Poros Barat-Timur, yaitu koridor jalan nasional dari Kota Padang sampai batas Provinsi Riau yang berada di wilayah Kota Padang, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Tanah Datar, Kota Padang Panjang, Kabupaten Agam, Kota Bukittinggi, Kota Payakumbuh, dan Kabupaten Limapuluh Kota;
  4. Kawasan Tapus, Rao, dan Mapat Tunggul yang berada di perbatasan Provinsi Sumatera Barat dengan Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Riau di Kabupaten Pasaman;
  5. Kawasan Sungai Rumbai yang berada di perbatasan Provinsi Sumatera Barat dengan Provinsi Jambi di Kabupaten Dharmasraya;
  6. Kawasan Lunang Silaut yang berada di perbatasan Provinsi Sumatera Barat dengan Provinsi Bengkulu di Kabupaten Pesisir Selatan;
  7. Kawasan Pangkalan Koto Baru di perbatasan Provinsi Sumatera Barat dengan Provinsi Riau di Kabupaten Limapuluh Kota;
  8. Kawasan Kamang Baru yang berada di perbatasan Provinsi Sumatera Barat dengan Provinsi Riau di Kabupaten Sijunjung;
  9. Kawasan Abai Sangir-Taluak Aie Putiah di perbatasan Provinsi Sumatera Barat dengan Provinsi Jambi di Kabupaten Solok Selatan;
  10. Kawasan strategis Batu Sangkar dan sekitarnya di Kabupaten Tanah Datar;
  11. Kawasan Strategis Ngarai Sianok di Kota Bukittinggi;
  12. Kawasan strategis Danau Singkarak di Kabupaten Solok dan Kabupaten Tanah Datar;
  13. Kawasan Strategis Danau Maninjau di Kabupaten Agam; dan
  14. Kawasan strategis Danau Diatas, Danau Dibawah dan Danau Talang di Kabupaten Solok.

(4)    Pengembangan dan pengelolaan lebih lanjut kawasan strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pejabat berwenang sesuai kewenangannya dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(5)     Pembiayaan pengembangan kawasan strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan dari sumber dana anggaran Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota) serta dari dana investasi perorangan dan masyarakat (swasta/investor) maupun dana yang dibiayai bersama (sharring) baik antar Pemerintah (Pusat dan Provinsi), antar Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota) maupun antara swasta/investor dengan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah, dan dana lain-lain dari penerimaan yang sah.

(6)     Pengelolaan, penggunaan, dan bentuk-bentuk kerjasama pembiayaan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5) diatur lebih lanjut berdasarkan peraturan pemerintah/daerah dan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

BAB VIII

ARAHAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH PROVINSI

Pasal 50

(1)       Pemanfaatan ruang wilayah mengacu pada rencana struktur ruang dan rencana pola ruang provinsi;

(2)       Pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penyusunan program pemanfaatan ruang;

(3)       Pembiayaan untuk merealisasikan program pemanfaatan ruang dalam rangka perwujudan rencana struktur ruang dan perwujudan rencana pola ruang dialokasikan dari sumber dana anggaran Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota) serta dari dana investasi perorangan dan masyarakat (swasta/investor) maupun dana yang dibiayai bersama (sharring) baik antar Pemerintah (Pusat dan Provinsi), antar Pemerintah dan Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota) maupun antara swasta/investor dengan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah, dan dana lain-lain dari penerimaan yang sah.

Pasal 51

(1)       Program pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) disusun berdasarkan indikasi program pembangunan yang memiliki jangka waktu pelaksanaan selama 20 tahun, pentahapan kegiatan tersebut dituangkan dalam kegiatan per 5 (lima) tahun dengan indikasi program utama lima tahun pertama diuraikan per tahun kegiatan yang meliputi perwujudan rencana struktur ruang dan perwujudan rencana pola ruang;

(2)       Indikasi program perwujudan rencana struktur ruang mencakup program perwujudan pusat-pusat kegiatan yang akan dikembangkan dan perwujudan sistem prasarana;

(3)       Indikasi program perwujudan rencana pola ruang mencakup progam pembangunan kawasan lindung dan kawasan budidaya;

(4)       Indikasi program pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam lampiran 3 dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

(5)       Pengelolaan, penggunaan, dan bentuk-bentuk kerjasama pembiayaan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) diatur lebih lanjut berdasarkan peraturan pemerintah/daerah dan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 52

(1)       Arahan pemanfaatan ruang dalam rangka perwujudan struktur ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dilakukan melalui perwujudan pusat kegiatan berupa sistem perkotaan yang meliputi PKN, PKW, PKWp, PKL, dan perwujudan pengembangan sistem prasarana wilayah.

(2)       Perwujudan PKN dilakukan melalui :

  1. Peningkatan kapasitas pelayanan Bandara Internasional Minangkabau sebagai pengumpul;
  2. Pengembangan pelabuhan laut Teluk Bayur sebagai pelabuhan laut internasional;
  3. Fungsionalisasi Terminal Regional Bingkuang tipe A di Kawasan Aia Pacah;
  4. Peningkatan dan pengembangan prasarana dan sarana Terminal Barang, serta prasarana dan sarana Sistem Angkutan Umum Massal;
  5. Pengembangan infrastruktur jalan kota;
  6. Peningkatan pelabuhan perikanan Samudera Bungus;
  7. Pengembangan agro industri dan manufaktur di kawasan PIP, industri Semen Padang di Kawasan Indarung;
  8. Pengembangan sarana perdagangan Pasar Raya Padang sebagai pasar induk antar wilayah;
  9. Pengembangan sarana pendidikan tinggi Universitas Andalas (UNAND) dan Universitas Negeri Padang (UNP) sebagai perguruan tinggi terkemuka di tingkat nasional;
  10. Pengembangan sarana kesehatan Rumah Sakit Umum (RSU) dr. M. Djamil sebagai salah satu rumah sakit tipe A di Indonesia;
  11. Peningkatan kapasitas pelayanan air minum sesuai kebutuhan masyarakat;
  12. Peningkatan TPA Regional di Aie Dingin serta prasarana dan sarana persampahan;
  13. Peningkatan dan pengembangan sistem pengelolaan limbah terpadu melalui pipanisasi;
  14. Pembangunan prasarana dan sarana air limbah kawasan RSH;
  15. Pembangunan Waste Water, Ecodrain dan Ecosan;
  16. Pembangunan sistem drainase primer; dan
  17. Peningkatan dan pengembangan prasarana dan sarana permukiman lainnya.

(3)       Perwujudan PKW dan PKWp dilakukan melalui :

  1. Peningkatan pelayanan rumah sakit kelas A atau B;
  2. Pembangunan dan/atau peningkatan rumah sakit kelas B menjadi kelas A;
  3. Peningkatan pasar  regional;
  4. Pembangunan atau peningkatan terminal regional tipe B menjadi tipe A
  5. Peningkatan fasilitas terminal regional tipe A atau B;
  6. Peningkatan dan pengembangan prasarana dan sarana Terminal Barang, serta prasarana dan sarana Sistem Angkutan Umum Massal;
  7. Pengembangan bandar udara pengumpan Pulau Punjung di Kabupaten Dharmasraya, Muara Siberut di Kabupaten Kepulauan Mentawai;
  8. Pengembangan pelabuhan laut nasional Kota Simpang Empat di Air Bangis Kabupaten Pasaman Barat, Tapan di Air Haji Kabupaten Pesisir Selatan, dan Muara Siberut di Kabupaten Kepulauan Mentawai;
  9. Peningkatan kapasitas pelayanan air minum di perkotaan;
  10. Pembangunan sistem drainase primer di Kota Solok, Kota Payakumbuh, dan Kota Bukittinggi;
  11. Peningkatan TPA Regional serta prasarana dan sarana persampahan;
  12. Peningkatan dan pengembangan instalasi pengelolaan air limbah (IPAL);
  13. Pembangunan Instalasi Pengelolaan Limbah Terpusat (IPLT) di Kota Bukittinggi;
  14. Pembangunan prasarana dan sarana air limbah kawasan RSH di Kota Pariaman, Kota Payakumbuh, dan Kota Solok; dan
  15. Peningkatan kapasitas prasarana dan sarana permukiman lainnya.

(4)    Perwujudan PKL dilakukan melalui :

  1. Peningkatan pelayanan rumah sakit kelas B atau C;
  2. Peningkatan sarana pasar;
  3. Pembangunan atau peningkatan pelayanan terminal regional tipe C menjadi tipe B.
  4. Peningkatan dan pengembangan prasarana dan sarana Terminal Barang, serta prasarana dan sarana Sistem Angkutan Umum Massal;
    1. Peningkatan kapasitas pelayanan air minum di perkotaan.
    2. Pengembangan prasarana dan sarana permukiman.
    3. Pengembangan prasarana dan sarana agropolitan/minapolitan

Pasal 53

(1)    Perwujudan pengembangan sistem prasarana wilayah sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) meliputi :

  1. Perwujudan pengembangan sistem prasarana transportasi;
  2. Perwujudan pengembangan sistem prasarana energi dan sumberdaya mineral;
  3. Perwujudan pengembangan sistem prasarana telekomunikasi;
  4. Perwujudan pengembangan sistem prasarana sumberdaya air;
  5. Perwujudan pengembangan sistem prasarana perumahan dan permukiman.

(2)    Perwujudan pengembangan sistem prasarana transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri dari :

  1. Program transportasi darat.
  2. Program transportasi udara.
  3. Program transportasi laut.

(3)    Perwujudan pengembangan sistem prasarana transportasi darat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan melalui :

  1. Pembangunan jaringan jalan arteri primer;
  2. Peningkatan kapasitas pelayanan sistem jaringan jalan arteri primer;
  3. Pembangunan jaringan jalan kolektor primer;
  4. Peningkatan kapasitas pelayanan sistem jaringan jalan kolektor primer;
  5. Peningkatan dan pengembangan sarana dan prasarana terminal umum dan terminal barang, serta sistem angkutan umum masal;
  6. Rehabilitasi/Fungsionalisasi, dan pengembangan angkutan kereta api;
  7. Pengembangan jaringan transportasi sungai, danau dan penyeberangan.

(4)   Perwujudan pengembangan sistem prasarana transportasi udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan melalui :

  1. Peningkatan kapasitas dan pelayanan Bandara Internasional Minangkabau (BIM);
  2. Perpanjangan landasan BIM;
  3. Operasional, pengembangan/perpanjangan landasan dan pengamanan pantai Bandara Rokot Sipora, Minas (MPLC) Sikakap di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Bandara Piobang di Kabupaten Limapuluh Kota, dan Bandara Tidar Kerinci Agung (TKA) di Kabupaten Solok Selatan sebagai bandara pengumpan;
  4. Pembangunan bandara baru di Pulau Siberut Selatan dan Pulau Pagai Selatan Kabupaten Kepulauan Mentawai, di Kabupaten Pasaman Barat, serta di Kabupaten Dharmasraya yang berfungsi “Three in One” sebagai bandara darurat/evakuasi bencana/tsunami/perang, dan penerbangan sipil;
  5. Penetapan Bandara Tabing menjadi Bandara Lanud (kawasan militer).

(5)   Perwujudan pengembangan sistem prasarana transportasi laut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan melalui :

a.    Peningkatan kapasitas Pelabuhan Teluk Bayur sebagai pelabuhan laut internasional/nasional dan diarahkan untuk eksport komoditi, juga sebagai simpul transportasi laut di Provinsi Sumatera Barat;

b.    Pengembangan pelabuhan laut regional/lokal di Tiku (Kabupaten Agam), Naras (Kota Pariaman), Muara Padang dan Bungus (Kota Padang), Tua Pejat, Sioban, Sikakap, Muara Sikabaluan, Muara Siberut, Bake (Kabupaten Kepulauan Mentawai), Pelabuhan Carocok Painan, Air Haji Tapan (Kabupaten Pesisir Selatan) dan Pelabuhan Air Bangis (Kabupaten Pasaman Barat);

c.    Pengembangan pelabuhan untuk kegiatan wisata yang tersebar di beberapa wilayah Provinsi Sumatera Barat;

d.    Pengembangan pelabuhan khusus untuk menunjang pengembangan kegiatan atau fungsi tertentu, misalnya untuk kepentingan militer atau pertahanan/keamanan di Teluk Bayur dan Kepulauan Mentawai.

(6)   Perwujudan pengembangan sistem prasarana energi dan sumberdaya mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan melalui :

  1. Pembangunan instalasi baru pembangkit listrik.
  2. Peningkatan pasokan daya listrik yang bersumber dari energi alternatif untuk memenuhi kebutuhan listrik perdesaan, diantaranya mikrohidro, angin, dan surya di perdesaan;
  3. Pengoperasian instalasi penyaluran;
  4. Pengembangan energi biodiesel dari tanaman jarak dan kelapa sawit untuk kebutuhan masyarakat;
  5. Pengembangan energi geothermal (panas bumi) yang tersebar di Provinsi Sumatera Barat;
  6. Eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi Blok Bukit Barisan Barat Daya (Blok Singkarak) dan Blok North Kuantan.

(7)   Perwujudan pengembangan sistem prasarana telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan melalui :

  1. Pembangunan sistem jaringan telekomunikasi di seluruh ibukota kecamatan dan nagari;
  2. Menciptakan keanekaragaman model telekomunikasi sesuai dengan kondisi dan kebutuhan.

(8)   Perwujudan pengembangan sistem prasarana sumberdaya air sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan melalui :

  1. Peningkatan dan pemeliharaan sumberdaya air yang berskala nasional guna menjaga kelestarian lingkungan dilakukan pada :

–       Batang Natal – Batang Batahan (Sumatera Barat – Sumatera Utara).

–       Rokan (Sumatera Utara – Sumatera Barat – Riau).

–       Kampar Kanan dan Kampar Kiri (Sumatera Barat – Riau).

–       Indragiri (Sumatera Barat – Riau).

–       Batanghari (Sumatera Barat – Jambi).

–       Beberapa aliran sungai yang termasuk sungai strategis nasional, yaitu Anai-Kuranji-Arau-Mangau-Antokan (AKUAMAN).

  1. Peningkatan pengairan irigasi teknis yaitu di :

–       Kabupaten Padang Pariaman melalui pengembangan Irigasi Batang Anai II.

–       Kabupaten Pesisir Selatan melalui pengembangan Irigasi Inderapura.

–       Kabupaten Pasaman Barat melalui pengembangan Irigasi Batang Tongar dan Batang Batahan.

–       Kabupaten Pasaman melalui pengembangan Irigasi Panti Rao.

–       Kabupaten Dharmasraya melalui pengembangan Irigasi Batanghari.

  1. Pengembangan dan rehabilitasi area rawa dilakukan di Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Padang Pariaman.
  2. Pengembangan, pengelolaan dan konservasi sungai, danau serta sumber air lainnya, antara lain embung/bendungan, waduk, dan bangunan penampung air lainnya untuk penyediaan air baku alternatif  sebanyak 15 lokasi dilakukan di Kota Padang, Kota Bukittinggi, Kota Solok, Kota Sawahlunto, Kota Payakumbuh, Kota Muara Siberut, Kabupaten Pasaman, Kabupaten Agam, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Limapuluh Kota, Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Solok, Kabupaten Sijunjung, Kabupaten Dharmasraya dan Kabupaten Pesisir Selatan.
  3. Pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan irigasi yang tersebar di seluruh kabupaten/kota dalam Provinsi Sumatera Barat.
  4. Pembangunan prasarana pengendalian banjir pada :

–       Alur sungai Batang Kandis-Anai (Kabupaten Padang Pariaman)

–       Alur sungai Batang Bayang Lubuk Gambir, Batang Lumpo, Batang Lengayang, Batang Kambang, dan seterusnya Batang Kapeh, Batang Surantih, Batang Lubuk Nyiur Batang Pelangai, Batang Air Haji, Batang Inderapura, Batang Tapan, Batang Nilau, (Kabupaten Pesisir Selatan)

–       Alur sungai Batang Masang Kanan dan Masang Kiri (Kabupaten Agam)

–       Alur sungai Batang Sinamar, Batang Kapur, Batang Lampasi, Batang Maek (Kabupaten Limapuluh Kota)

–       Alur sungai Batang Lembang (Kota Solok)

–       Alur sungai Batang Kandis; dan Pengembangan sistem pengendalian banjir Kota Padang dengan membangun integrasi saluran sekunder dan tersier; dan pembangunan kanal timur.

  1. Pengamanan abrasi pantai yaitu di : Pesisir Pantai Padang – Batas kota (Kota Padang, Kabupaten Padang Pariaman, Air Haji dan Luhung (Kabupaten Pesisir Selatan), Tiku (Kabupaten Agam), Sasak dan Air Bangis (Kabupaten Pasaman Barat).
  2. Pengamanan abrasi danau, yaitu Danau Singkarak, Danau Maninjau, Danau Diatas dan Danau Dibawah.

(9)    Perwujudan pengembangan sistem prasarana perumahan dan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dilakukan melalui :

  1. Pembangunan perumahan untuk kebutuhan penduduk di Provinsi Sumatera Barat sampai dengan tahun 2029 dengan program sejuta rumah, pembangunan perumahan swadaya, dan pembangunan Rusunawa (rumah susun sederhana sewa);
  2. Pengembangan prasarana dan sarana perumahan, berupa jalan poros, jalan lingkungan, jalan setapak, dan drainase yang tersebar di 19 (sembilan belas kabupaten/kota);
  3. Penyediaan prasarana dan sarana air minum terutama pada kawasan rawan air minum di perkotaan dan perdesaan;
  4. Pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) pada setiap rumah sakit;
  5. Pembangunan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah skala Regional Kabupaten Agam dan Kota Bukittinggi di Sitingkai Kecamatan Palupuh, Kabupaten Solok dan Kota Solok (Ampang Kualo Kota Solok);
  6. Pembangunan TPA pada setiap kota dan kabupaten, meliputi  Kota Padang (Aia Dingin Kecamatan Koto Tangah), Kota Pariaman (Tiram Kanagarian Tapakis), Kota Padang Panjang (Sungai Andok Kelurahan Kebun Sikolos Kecamatan Padang Panjang Barat), Kota Sawahlunto (Kayu Gadang), Kota Payakumbuh (Kubu Gadang, Kelurahan Ampangan Kecamatan Payakumbuh Barat), Kota Bukittinggi (Panorama Baru), Kabupaten Padang Pariaman (Koto Buruak), Kabupaten Sijunjung (Muaro Batuk), Kabupaten Dharmasraya (Kecamatan Koto Baru), Kabupaten Pesisir Selatan (Bukit Penyambungan Lumpo, Gunung Bungkuk Salido, Painan), Kabupaten Limapuluh Kota (Rimbo Piobang), Kabupaten Pasaman (Jambak), Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten Tanah Datar (Bukit Sangkiang Koto Limo Kaum), Kabupaten Solok Selatan, Kabupaten Agam (Manggis);
  7. Rehabilitasi dan peningkatan pelayanan Instalasi Pengolahan Limbah Tinja (IPLT) di 5 kota di Provinsi Sumatera Barat (Kota Padang, Kota Padang Panjang, Kota Batusangkar, Kota Payakumbuh, Kota Solok).

Pasal 54

(1)       Arahan pemanfaatan ruang dalam rangka perwujudan pola ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dilakukan melalui perwujudan kawasan lindung dan perwujudan kawasan budidaya.

(2)       Perwujudan kawasan lindung terdiri atas :

  1. Pemantapan kawasan lindung;
  2. Evaluasi kebijakan pemanfaatan lahan kawasan lindung;
  3. Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan  bawahannya;
  4. Kawasan perlindungan setempat;
  5. Kawasan suaka alam;
  6. Kawasan pelestarian alam;
  7. Kawasan cagar budaya;
  8. Kawasan rawan bencana alam; dan
  9. Kawasan lindung lainnya.

(3)       Pemantapan kawasan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan melalui :

  1. Evaluasi kebijakan pemanfaatan lahan kawasan lindung;
  2. Rehabilitasi dan konservasi lahan di kawasan lindung guna mengembalikan/meningkatkan fungsi lindung;
  3. Pengembangan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan lindung;
  4. Peningkatan pemanfaatan potensi sumberdaya hutan;
  5. Pengembangan pola insentif dan disinsentif pengelolaan kawasan lindung;
  6. Pengawasan kawasan lindung.
  7. Pengamanan kawasan lindung

(4)       Evaluasi kebijakan pemanfaatan lahan kawasan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan melalui :

  1. Evaluasi kondisi eksisting pemanfaatan lahan kawasan lindung;
  2. Penyusunan rekomendasi kebijakan pemanfaatan lahan kawasan lindung tanpa mengganggu fungsi lindung.

(5)       Pengelolaan kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan melalui :

  1. Mencegah timbulnya erosi, bencana banjir, sedimentasi, dan menjaga fungsi hidrologis tanah di kawasan hutan lindung;
  2. Memberikan ruang yang cukup bagi resapan air hujan pada kawasan resapan air untuk keperluan penyediaan kebutuhan air tanah dan penanggulangan banjir.

(6)       Pengelolaan kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dilakukan melalui :

  1. Menjaga sempadan pantai untuk melindungi wilayah pantai dari kegiatan yang mengganggu kelestarian fungsi pantai;
  2. Menjaga sempadan sungai untuk melindungi sungai dari kegiatan manusia yang dapat mengganggu dan merusak kualitas air sungai, kondisi fisik pinggir dan dasar sungai serta mengamankan aliran sungai;
  3. Menjaga kawasan sekitar danau/waduk untuk melindungi danau/waduk dari berbagai usaha dan/atau kegiatan yang dapat mengganggu kelestarian fungsi waduk/danau;
  4. Menjaga kawasan sekitar mata air untuk melindungi mata air dari dari berbagai usaha dan/atau kegiatan yang dapat merusak kualitas air dan kondisi fisik kawasan sekitarnya;
  5. Menjaga kawasan terbuka hijau kota termasuk di dalamnya hutan kota untuk melindungi kota dari polusi udara dan kegiatan manusia yang dapat mengganggu kelestarian lingkungan kota, serta mengendalikan tata air, meningkatkan upaya pelestarian habitat flora dan fauna, meningkatkan nilai estetika lingkungan perkotaan dan kenyamanan kehidupan di kota.

(7)       Pengelolaan kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e bertujuan untuk perlindungan keanekaragaman biota, tipe ekosistem, gejala keunikan alam di kawasan suaka alam dan kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya untuk kepentingan plasma nutfah, keperluan pariwisata, ilmu pengetahuan dan pembangunan pada umumnya.

(8)       Pengelolaan kawasan pelestarian alam sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f bertujuan untuk pelestarian fungsi lindung dan tatanan lingkungan kawasan (peningkatan kualitas lingkungan sekitarnya dan perlindungan dari pencemaran), pengembangan pendidikan, rekreasi dan pariwisata.

(9)       Pengelolaan kawasan cagar budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g ditetapkan di seluruh kabupaten/kota dalam wilayah Provinsi Sumatera Barat dalam rangka perlindungan kekayaan budaya bangsa yang meliputi peninggalan-peninggalan sejarah, bangunan arkeologi dan monumen nasional, serta keanekaragaman bentukan geologi untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan pencegahan dari ancaman kepunahan yang disebabkan oleh kegiatan alam maupun manusia.

(10)    Pengelolaan kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf h dilakukan melalui :

  1. Menginventarisir kawasan rawan bencana alam di Sumatera Barat secara lebih akurat;
  2. Pengaturan kegiatan manusia di kawasan rawan bencana alam untuk melindungi manusia dari bencana yang disebabkan oleh alam maupun secara tidak langsung oleh perbuatan manusia;
  3. Melakukan upaya untuk mengurangi/ meniadakan resiko bencana alam seperti melakukan penghijauan pada lahan kritis;
  4. Melakukan sosialisasi bencana alam pada masyarakat, terutama masyarakat yang berada pada/dekat dengan daerah rawan bencana alam.

(11)    Pengelolaan kawasan lindung lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf i dilakukan melalui :

  1. Melindungi Taman buru Siduali dan ekosistemnya seluas 2.354 Ha untuk kelangsungan perburuan satwa;
  2. Melestarikan fungsi lindung dan tatanan lingkungan kawasan cagar biosfer untuk melindungi ekosistem asli, ekosistem unik, dan/atau ekosistem yang telah mengalami degradasi dari gangguan kerusakan seluruh unsur-unsur alamnya untuk penelitian dan pendidikan;
  3. Cagar biosfer di Provinsi Sumatera Barat terdapat TN Siberut dengan luas 190.500 Ha;
  4. Melestarikan fungsi lindung dan tatanan lingkungan daerah perlindungan plasma nutfah untuk melindungi daerah dan ekosistemnya, serta menjaga kelestarian flora dan faunanya. Kawasan ini meliputi TNKS dan TN Siberut dengan luas 538.625,10 Ha;
  5. Melestarikan lingkungan dan tatanan lingkungan daerah pengungsian satwa untuk melindungi daerah dan ekosistemnya bagi kehidupan satwa yang sejak semula menghuni areal tersebut.

Pasal 55

(1)       Perwujudan kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam pasal 54 ayat (1) terdiri atas :

  1. Pengembangan kawasan permukiman;
  2. Pengembangan kawasan hutan produksi dan hutan rakyat;
  3. Pengembangan kawasan pertanian;
  4. Pengembangan kawasan perkebunan;
  5. Pengembangan kawasan peternakan;
  6. Pengembangan kawasan perikanan dan kelautan;
  7. Pengembangan kawasan pertambangan;
  8. Pengembangan kawasan industri;
  9. Pengembangan kawasan pariwisata;
  10. Pengembangan kawasan peruntukan lainnya; dan
  11. Pengembangan kawasan yang memiliki nilai strategis.

(2)       Pengembangan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi :

  1. Pengembangan kawasan permukiman perdesaan dilakukan melalui :

–          Pengembangan kota kecil dan nagari kawasan pusat pertumbuhan.

–          Pengembangan sarana prasarana nagari kawasan tertinggal.

–          Pengembangan dan pengamanan pulau-pulau kecil dan kawasan perbatasan laut di Pulau Sinyanyau dan Pulau Sibaru-baru yang berbatasan dengan Samudera Hindia.

–          Revitalisasi kawasan tradisional/bersejarah, kawasan pariwisata dan kawasan lain yang menurun kualitasnya yang tersebar di Sembilan belas kabupaten/kota.

–          Pengembangan sistem jaringan transportasi yang mendukung alur produksi-koleksi distribusi antar kota, antar wilayah dan antara perkotaan dan perdesaan.

–          Pengembangan prasarana dan sarana kawasan perdesaan lainnya.

  1. Pengembangan kawasan permukiman perkotaan yang tersebar di pusat kota, kota kabupaten dan kota kecamatan dilakukan melalui :

–          Percepatan penyediaan perumahan melalui kegiatan : Penyediaan KPR – RSH  bersubsidi, Pengembangan perumahan swadaya dan Pengembangan Kasiba/Lisiba.

–          Penataan dan rehabilitasi lingkungan kawasan permukiman kumuh dan perkampungan nelayan. Kegiatan ini ditujukan untuk kawasan yang memiliki lingkungan permukiman yang kurang sehat serta kondisi perumahan yang kurang layak pada kota-kota yang menjadi pusat pengembangan.

–          Revitalisasi kawasan  tradisional/etnis/ bersejarah yaitu kawasan yang mempunyai bangunan bersejarah yang bernilai atau bermakna penting

–          Peningkatan penyehatan lingkungan permukiman.

–          Pengembangan prasarana dan sarana kawasan cepat tumbuh perkotaan.

(3)       Pengembangan kawasan hutan produksi dan hutan rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan melalui :

–          Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu (seperti komoditi rotan, tanaman obat, atau sutera alam).

–          Pengembangan tanaman hutan atau tanaman obat-obatan pada lahan hutan rakyat.

(4)       Pengembangan kawasan pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan melalui :

–          Perluasan lahan padi sawah beririgasi teknis (DI  Batang Anai II, DI Inderapura, DI Batang Tongar, DI Batang Batahan, DI Panti Rao, DI Batanghari)

–          Peningkatan produktifitas lahan padi sawah yang ada di Provinsi Sumatera Barat.

(5)       Pengembangan kawasan perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan melalui :

–          Pengembangan kawasan tanaman tahunan/perkebunan yaitu pengembangan komoditi perkebunan antara lain : kelapa sawit, karet, kelapa dalam, kakao, kopi, gambir, kasiavera, nilam, dan jarak.

–          Peremajaan dan rehabilitasi untuk tanaman yang sudah tua pada masing-masing kabupaten/kota yang diprogramkan.

(6)       Pengembangan kawasan peternakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dilakukan melalui :

  1. Pengembangan kawasan agribisnis peternakan
  2. Pengembangan kawasan integrasi di Provinsi Sumatera Barat

–          Kawasan integrasi perternakan – tanaman pangan dan hortikultura (organic farm)

–          Kawasan integrasi perternakan – perkebunan (sawit, karet, coklat)

–          Kawasan integrasi perternakan – perikanan

  1. Prioritas pengembangan kawasan terintegrasi untuk jangka menengah (5 Tahun) yaitu :

–          Kawasan integrasi Sapi dengan Sawit (Kabupaten Agam, Kabupaten Lima Puluh Kota, Kabupaten Sawahlunto Sijunjung, Kabupaten Solok Selatan, Kabupaten Pasaman, Kabupaten Pasaman Barat, Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Dharmasraya)

–          Ternak sapi dengan tanaman pangan (Kabupaten Agam, Kabupaten Solok dan Kabupaten Tanah Datar)

–          Ternak sapi dengan hortikultura (Kabupaten Agam, Kabupaten Solok dan Kabupaten Tanah Datar)

–          Ayam Ras Petelur dan Pedaging, serta Ayam Buras dengan Jagung (Kabupaten Lima Puluh Kota, Kabupaten Pesisir Selatan)

–          Sapi dengan Padi (Kabupaten Solok, Kota Sawahlunto)

–          Kambing dengan Coklat (seluruh kabupaten, dan seluruh kota kecuali Kota Padang Panjang dan Kota Bukittinggi)

–          Ternak Sapi dengan Jagung (Kabupaten Padang Pariaman)

(7)       Pengembangan kawasan perikanan dan kelautan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dilakukan melalui :

  1. Pengembangan perikanan tangkap  laut dalam
  2. Pengembangan sentra budidaya perikanan laut  (udang, kerapu, dan rumput laut)
  3. Pengembangan sentra budidaya perikanan air tawar
  4. Rehabilitasi dan konservasi sumber daya pesisir dan laut.

–          Konservasi biota laut langka di Pulau Penyu dan Pulau Pasumpahan.

–          Rehabilitasi  terumbu karang.

–          Rehabilitasi hutan bakau Batang Tomak, Air Bangis, dan Simpang Empat di  Kabupaten   Pasaman Barat; Lunang Silaut di Kabupaten Pesisir Selatan; sebagian besar kawasan pantai Kepulauan Mentawai; Kabupaten Agam,  Pariaman, dan Bungus Teluk Kabung di Kota Padang

  1. Pengembangan industri pengolahan perikanan di Kota Padang
  2. Pengembangan industri maritim di Teluk Bayur (Kota Padang)
  3. Pengembangan pulau-pulau kecil dalam wilayah Provinsi Sumatera Barat
  4. Peningkatan  sarana prasana pelabuhan perikanan

–          Kabupaten Pasaman Barat (Air Bangis, Sasak)

–          Kabupaten Agam (Tiku)

–          Kota Pariaman (Pariaman)

–          Kota Padang (Bungus, Gaung, Muara, Teluk Kabung)

–          Kabupaten Pesisir Selatan (Carocok Tarusan)

–          Kabupaten Mentawai (Sikakap)

  1. Pembangunan  pelabuhan perikanan

–          Kabupaten Pesisir Selatan (Muara Gadang)

–          Kabupaten Mentawai ( Tua Pejat).

–          Kabupaten Padang Pariaman (Pasir Baru)

(8)       Pengembangan kawasan pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g dilakukan melalui :

–          Inventarisasi daerah yang berpotensi untuk usaha pertambangan yang berada pada kawasan hutan lindung.

–          Usulan kebijakan pertambangan di kawasan hutan lindung.

–          Penetapan aturan zonasi penambangan rakyat yang diijinkan agar tidak menimbulkan dampak lingkungan.

–          Relokasi dan lokalisasi tambang rakyat

–          Rehabilitasi lahan pasca tambang.

–          Pelarangan dan penghentian kegiatan penambangan yang menimbulkan kerusakan lingkungan

(9)       Pengembangan kawasan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h dilakukan melalui :

  1. Pengembangan industri unggulan Provinsi Sumatera Barat, yaitu :

–          Pengembangan industri pengolahan hasil laut

–          Pengembangan industri pengolahan kakao

–          Pengembangan industri Pangan

–          Pengembangan industri kulit

–          Pengembangan industri tekstil dan produk tekstil

–          Pengembangan industri alsintan dan suku cadang

–          Pengembangan industri gambir

–          Pengembangan industri minyak atsiri

–          Pengembangan industri minyak jarak (bio diesel)

–          Pengembangan industri semen

  1. Pengembangan industri untuk kabupaten dan kota, menetapkan kompetensi inti di setiap kabupaten/kota, yang diprioritaskan untuk dikembangkan yaitu :

–         Industri pengolahan hasil laut.

–         Industri pengolahan hasil ternak (industri pengolahan daging, susu dan kulit).

–         Industri pengolahan hasil perkebunan.

–         Industri kerajinan (industri bordir/ konveksi/pertenunan/garmen, mebel kayu dan rotan, kerajinan tanah liat)

–         Industri pakan ternak

(10)    Pengembangan kawasan pariwisata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i ditujukan pada kawasan unggulan wisata maupun kawasan potensial wisata, yaitu :

–          Kawasan Wisata Pesisir Kota Padang

–          Kawasan Mandeh Pesisir Selatan

–          Kawasan Koridor Anai Resort – Minangkabau Village – Amur Sekitarnya.

–          Kawasan Teluk Katurai Siberut

–          Kawasan Taman Nasional Siberut

–          Kawasan Kota Tambang Sawahlunto

–          Kawasan Danau Kembar Sekitarnya

–          Kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat

–          Kawasan Bukittinggi sekitarnya

–          Kawasan Lembah Harau

–          Kawasan Maninjau Sekitarnya

–          Kawasan Danau Singkarak

–          Kawasan Istana Pagaruyung Sekitarnya

–          Kawasan Perkampungan Lama di Kabupaten Tanah Datar (Balimbing dan Pariangan)

–          Kawasan Cagar Alam Rimbo Panti

–          Pengembangan  paket kereta api wisata Padang – Sawahlunto

(11)   Pengembangan kawasan peruntukan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j mencakup kawasan tempat beribadah, kawasan pendidikan, kawasan pertahanan keamanan daerah dan lingkungan, kawasan perairan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil ditujukan dalam rangka peningkatan dan pembangunan prasarana dan infrastruktur kawasan tersebut untuk pemanfaatan umum. Selanjutnya pengembangan kawasan peruntukan lainnya mengacu pada standar dan kriteria teknis pemanfaatan ruang dan merupakan persyaratan minimal untuk seluruh kabupaten/kota yang akan diatur lebih lanjut oleh kabupaten/kota yang bersangkutan dan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(12)   Pengembangan kawasan budidaya yang memiliki nilai strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k mencakup kawasan andalan yang ditetapkan secara nasional, instalasi militer, dan kawasan strategis yang diperuntukan bagi pelabuhan Kelas A (pelabuhan samudera, terminal peti kemas, dan pelabuhan skala nasional lainnya) yang ditetapkan provinsi. Selanjutnya Program pengembangan kawasan budidaya yang memiliki nilai strategis mengacu pada pedoman dan peraturan perudang-undangan yang berlaku.

 

 

BAB IX

ARAHAN PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 56

(1)       Arahan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah Provinsi menjadi acuan pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah Provinsi;

(2)       Arahan pengendalian pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

  1. Indikasi arahan peraturan zonasi;
  2. Arahan perizinan;
  3. Arahan pemberian intensif dan disinsentif; dan
  4. Arahan sanksi.

 

 

Bagian Kedua

Indikasi Arahan Peraturan Zonasi

Pasal 57

(1)       Indikasi arahan peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) huruf a, menjadi pedoman bagi penyusunan peraturan zonasi oleh pemerintah kabupaten/kota.

(2)       Indikasi arahan peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :

(a)    Indikasi arahan peraturan zonasi untuk kawasan lindung;

(b)    indikasi arahan peraturan zonasi untuk kawasan budidaya; dan

(c)    Indikasi arahan peraturan zonasi sistem nasional dan sistem provinsi.

Pasal 58

(1)       Indikasi arahan peraturan zonasi untuk kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 pada ayat (2) huruf (a) meliputi :

  1. Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan hutan lindung;
  2. Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan bergambut;
  3. Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan resapan air;
  4. Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan sempadan pantai;
  5. Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan sempadan sungai;
  6. Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan sekitar danau atau waduk;
  7. Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan sempadan mata air;
  8. Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan ruang terbuka hijau;
  9. Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan suaka alam;
  10. Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya;
  11. Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan suaka margasatwa dan suaka margasatwa laut;
  12. Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan pantai berhutan bakau;
  13. Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan taman nasional dan taman nasional laut;
  14. Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan taman hutan raya
  15. Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan taman wisata dan taman wisata laut
  16. Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan;
  17. Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan rawan bencana alam
  18. Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan lindung geologi
  19. Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan lindung lainnya.

(2)       Indikasi arahan peraturan zonasi untuk kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 pada ayat (2) huruf huruf (b) meliputi :

  1. Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan hutan produksi;
  2. Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan hutan rakyat;
  3. Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan perkebunan;
  4. Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan pertanian;
  5. Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan perikanan;
  6. Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan pertambangan;
  7. Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan industri;
  8. Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan pariwisata;
  9. Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan permukiman; dan
  10. Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan peruntukan lainnya.

(3)       Indikasi arahan peraturan zonasi sistem nasional dan provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 pada ayat (2) huruf huruf (c) meliputi :

a.    Indikasi arahan peraturan zonasi sistem perkotaan;

b.    Indikasi arahan peraturan zonasi sistem jaringan transportasi;

c.    Indikasi arahan peraturan zonasi sistem jaringan prasarana energi;

d.    Indikasi arahan peraturan zonasi sistem prasarana telekomunikasi;

  1. Indikasi arahan peraturan zonasi sitem jaringan sumberdaya air;
  2. Indikasi arahan peraturan zonasi sistem prasarana linkungan (TPA regional);

Paragraf 1

Indikasi Arahan Peraturan Zonasi Kawasan Lindung

Pasal 59

Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf a ditetapkan sebagai berikut :

  1. Dalam kawasan hutan lindung masih diperkenankan dilakukan kegiatan lain yang bersifat komplementer terhadap fungsi hutan lindung sebagaimana ditetapkan dalam KepmenHut Nomor 50 tahun 2006;
  2. Kegiatan pertambangan di kawasan hutan lindung masih diperkenankan sepanjang tidak dilakukan secara terbuka, dengan syarat harus dilakukan reklamasi areal bekas penambangan sehingga kembali berfungsi sebagai kawasan lindung;
  3. Kawasan hutan lindung dapat dialihfungsikan sepanjang mengikuti prosedur dan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  4. Pembangunan prasarana wilayah yang harus melintasi hutan lindung dapat diperkenankan dengan ketentuan :

–     Tidak menyebabkan terjadinya perkembangan pemanfaatan ruang budidaya di sepanjang jaringan prasarana tersebut.

–     Mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan.

Pasal 60

Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan bergambut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf b ditetapkan sebagai berikut :

  1. Tidak diperkenankan adanya kegiatan budidaya di atas kawasan bergambut yang memiliki ketebalan  ≥ 3 meter;
  2. Pembangunan prasarana wilayah yang harus melintasi kawasan bergambut dengan ketebalan ≥ 3 meter dapat diperkenankan dengan ketentuan :

–     Tidak menyebabkan terjadinya perkembangan pemanfaatan ruang budidaya di sepanjang jaringan prasarana tersebut.

–     Mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Kehutanan.

Pasal 61

Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan resapan air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf c ditetapkan sebagai berikut :

  1. Dalam kawasan resapan air tidak diperkenankan adanya kegiatan budidaya;
  2. Permukiman yang sudah terbangun di dalam kawasan resapan air sebelum ditetapkan sebagai kawasan lindung masih diperkenankan namun harud memenuhi syarat :

–    Tingkat kerapatan bangunan rendah (KDB maksimum 20%, dan KLB maksimum 40%).

–    Perkerasan permukaan menggunakan bahan yang memiliki daya serap air tinggi.

–    Dalam kawasan resapan air wajib dibangun sumur-sumur resapan sesuai ketentuan yang berlaku.

Pasal 62

Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan sempadan pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf d ditetapkan sebagai berikut :

  1. Dalam kawasan sempadan pantai yang termasuk dalam zona inti wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tidak diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya kecuali kegiatan penelitian, bangunan pengendali air, dan sistem peringatan dini (early warning system);
  2. Dalam kawasan sempadan pantai yang termasuk zona pemanfaatan terbatas dalam wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya pesisir, ekowisata, dan perikanan tradisional;
  3. Dalam kawasan sempadan pantai yang termasuk zona lain dalam wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya sesuai peruntukan kawasan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 63

Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan sempadan sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf e ditetapkan sebagai berikut :

  1. Dalam kawasan sempadan sungai tidak diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya yang mengakibatkan  terganggunya fungsi sungai;
  2. Dalam kawasan sempadan sungai masih diperkenankan dibangun prasarana wilayah dan utilitas lainnya dengan ketentuan :

–    Tidak menyebabkan terjadinya perkembangan pemanfaatan ruang budidaya di sepanjang jaringan prasarana tersebut.

–    Dilakukan sesuai ketentuan peraturan yang berlaku.

Pasal 64

Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan sekitar danau atau waduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf f ditetapkan sebagai berikut :

  1. Dalam kawasan sempadan waduk/danau tidak diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya yang dapat merusak fungsi danau/waduk.
  2. Dalam kawasan sempadan waduk/danau diperkenankan dilakukan kegiatan penunjang pariwisata alam seseuai ketentuan yang berlaku.
  3. Dalam kawasan sempadan sungai masih diperkenankan dibangun prasarana wilayah dan untilitas lainnya sepanjang :

–     Tidak menyebabkan terjadinya perkembangan pemanfaatan ruang budidaya di sekitar jaringan prasarana tersebut.

–     Pembangunannya dilakukan sesuai ketentuan peraturan yang berlaku.

Pasal 65

Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan sempadan mata air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf g ditetapkan sebagai berikut :

  1. Dalam kawasan sempadan mata air tidak diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya yang dapat merusak mata air;
  2. Dalam kawasan sempadan mata air masih diperkenankan dilakukan kegiatan penunjang pariwisata alam sesuai ketentuan yang berlaku.

Pasal 66

Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan ruang terbuka hijau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf h ditetapkan sebagai berikut :

  1. Kawasan ruang terbuka hijau tidak diperkenankan dialihfungsikan.
  2. Dalam kawasan ruang terbuka hijau masih diperkenankan dibangun fasilitas pelayanan sosial secara terbatas dan memenuhi ketentuan yang berlaku.

Pasal 67

Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan suaka alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf i ditetapkan sebagai berikut :

  1. Dalam kawasan suaka alam tidak diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya yang mengakibatkan menurunnya fungsi kawasan suaka alam;
  2. Dalam kawasan suaka alam masih diperkenankan dilakukan kegiatan penelitian, wisata alam, dan kegiatan berburu yang tidak mengakibatkan penurunan fungsi kawasan;
  3. Dalam kawasan suaka alam masih diperkenankan pembangunan prasarana wilayah, bangunan penunjang fungsi kawasan, dan bangunan pencegah bencana alam  sesuai ketentuan yang berlaku.

Pasal 68

Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf j ditetapkan sebagai berikut :

  1. Tidak diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya yang mengakibatkan rusak dan menurunnya fungsi kawasan;
  2. Tidak diperkenankan dilakukan kegiatan budidaya perikanan skala besar atau skala usaha dan eksploitasi sumberaya kelautan yang mengakibatkan menurunnya potensi alam laut dan perairan lainnya;
  3. Dilarang dilakukan penambangan terumbu karang sehingga tutupan karang hidupnya kurang dari 50 % (lima puluh persen);
  4. Masih diperkenankan dilakukan kegiatan pariwisata alam secara terbatas dan kegiatan penelitian;
  5. Masih diperkenankan dibangun pasarana wilayah bawah laut dan bangunan pengendali air;
  6. Masih diperkenankan dipasang alat pemantau bencana alam seperti sistem peringatan dini (early warning system).

Pasal 69

Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan suaka margasatwa dan suaka margasatwa laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf k ditetapkan sebagai berikut :

  1. Dalam kawasan suaka margasatwa dan suaka margasatwa laut tidak diperbolehkan dilakukan kegiatan budidaya yang mengakibatkan menurunnya fungsi kawasan;
  2. Dalam kawasan suaka margasatwa dan suaka margasatwa laut tidak diperbolehkan dilakukan kegiatan perburuan satwa yang dilindungi undang-undang;
  3. Dilarang dilakukan penambangan terumbu karang sehingga tutupan karang hidupnya kurang dari 50 % (lima puluh persen);
  4. Dalam kawasan suaka margasatwa dan suaka margasatwa laut masih diperbolehkan dilakukan kegiatan penelitian dan wisata alam secara terbatas;
  5. Dalam kawasan suaka margasatwa dan suaka margasatwa laut masih diperbolehkan dilakukan pembangunan prasarana wilayah, bangunan penunjang fungsi kawasan, dan bangunan pencegah bencana alam  sesuai ketentuan yang berlaku.

Pasal 70

Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan pantai berhutan bakau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf l ditetapkan sebagai berikut :

  1. Dilarang dilakukan reklamasi dan pembangunan permukiman yang mempengaruhi fungsi kawasan dan merubah bentang alam;
  2. Penebangan mangrove pada kawasan yang telah dialokasikan dalam perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil untuk budidaya perikanan diperbolehkan sepanjang memenuhi kaidah-kaidah konservasi;
  3. Diperbolehkan dilakukan kegiatan penelitian dan wisata alam sepanjang tidak merusak kawasan pantai berhutan bakau dan habitat satwa liar yang ada.

Pasal 71

Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan taman nasional dan taman nasional laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf m ditetapkan sebagai berikut :

  1. Dalam kawasan taman nasional dilarang dilakukan kegiatan budidaya yang menyebabkan menurunnya fungsi kawasan;
  2. Dalam kawasan taman nasional dilarang dilakukan penebangan pohon dan perburuan satwa yang dilndungi undang-undang;
  3. Dalam kawasan taman nasional laut dilarang dilakukan penambangan terumbu karang;
  4. Dalam kawasan taman nasional dan taman nasional laut masih diperbolehkan dilakukan kegiatan penelitian dan wisata alam sepanjang tidak merusak lingkungan;
  5. Dalam kawasan taman nasional dan taman nasional laut masih diperbolehkan dilakukan pembangunan prasarana wilayah dan prasarana bawah laut sepanjang tidak merusak atau menurangi fungsi kawasan.

Pasal 72

Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan taman hutan raya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf n ditetapkan sebagai berikut :

  1. Dalam kawasan taman hutan raya tidak diperkenankan dilakukan budidaya yang merusak dan/atau menurunkan fungsi kawasan taman hutan raya;
  2. Kawasan taman hutan raya tidak dapat dialih fungsikan kecuali terjadi perubahan fungsi dan sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku;
  3. Dalam kawasan taman hutan raya masih diperkenankan dilakukan kegiatan pariwisata alam dan pariwisata konvensi sesuai ketentuan yang berlaku;
  4. Dalam kawasan taman hutan raya masih diperkenankan dilakukan budidaya lain yang menunjang kegiatan pariwisata;
  5. Dalam kawasan taman hutan raya masih diperkenankan dibangun prasarana wilayah sesuai ketentuan yang berlaku.

Pasal 73

Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan taman wisata dan taman wisata laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf o ditetapkan sebagai berikut :

  1. Tidak diperkenankan dilakukan budidaya yang merusak dan/atau menurunkan fungsi kawasan taman wisata dan taman wisata laut;
  2. Dalam kawasan taman wisata laut dilarang dilakukan reklamasi dan pembangunan perumahan skala besar yang mempengaruhi fungsi kawasan dan merubah bentang alam;
  3. Dalam kawasan taman wisata laut dilarang dilakukan eksploitasi terumbu karang dan biota lain kecuali untuk kepentingan penelitian dan pendidikan;
  4. Dalam kawasan taman wisata dan taman wisata laut masih diperbolehkan dilakukan pembangunan prasarana wilayah bawah laut sesuai ketentuan yang berlaku.

Pasal 74

Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf p ditetapkan sebagai berikut :

  1. Kawasan cagar budaya dilindungi dengan sempadan sekurang-kurangnya memiliki radius 100 m, dan pada radius sekurang-kurangnya 500 m tidak diperkenankan adanya bangunan lebih dari 1 (satu) lantai;
  2. Tidak diperkenankan adanya bangunan lain kecuali bangunan pendukung cagar budaya dan ilmu pengetahuan.

Pasal 75

Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) huruf q ditetapkan sebagai berikut :

  1. Perkembangan kawasan permukiman yang sudah terbangun di dalam kawasan rawan bencana alam harus dibatasi dan diterapkan peraturan bangunan (building code) sesuai dengan potensi bahaya/bencana alam, serta dilengkapi jalur evakuasi;
  2. Kegiatan-kegiatan vital/strategis diarahkan untuk tidak dibangun pada kawasan rawan bencana;
  3. Dalam kawasan rawan bencana masih dapat dilakukan pembangunan prasarana penunjang untuk mengurangi resiko bencana alam dan pemasangan sitem peringatan dini (early warning system);
  4. Dalam kawasan rawan bencana alam masih diperkenankan adanya kegiatan budidaya lain seperti pertanian, perkebunan, dan kehutanan, serta bangunan yang berfungsi untuk mengurangi resiko yang timbul akibat bencana alam.

Pasal 76

Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan lindung geologi sebagaimana dimaksud dalam pasal 58 ayat (1) huruf r ditetapkan sebagai berikut :

  1. Pada kawasan cagar alam geologi tidak diperkenankan adanya kegiatan budidaya permukiman;
  2. Kegiatan permukiman yang sudah terlanjur terbangun pada kawasan rawan bencana geologi harus mengikuti peraturan bangunan (building code) yang sesuai dengan potensi bencana geologi yang mungkin timbul dan dibangun jalur evakuasi;
  3. Pada kawasan bencana alam geologi budidaya permukiman dibatasi dan bangunan yang ada hatus mengikuti ketentuan bangunan pada kawasan rawan bencana alam geologi;
  4. Pada kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah tidak diperkenankan adanya bangunan terkecuali bangunan yang terkait dengan sistem jaringan prasarana wilayah dan pengendali air;
  5. Dalam kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah masih diperkenankan budidaya pertanian, perkebunan dan kehutanan secara terbatas;
  6. Pada kawasan lindung geologi masih diperkenankan dilakukan budidaya pertanian, perkebunan dan kehutanan.

Pasal 77

Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan lindung lainnya sebagaimana dimaksud pada pasal 58 ayat (1) huruf s ditetapkan sebagai berikut :

  1. Pada kawasan lindung lainnya (Taman Buru, Cagar Biosfer, Kawasan Perlindungan Plasma Nutfah) tidak diperkenankan adanya kegiatan budidaya terkecuali bangunan terkait dengan sistem jaringan prasarana wilayah;
  2. Sistem jaringan prasarana wilayah yang melintasi kawasan lindung lainnya harus memperhatikan perilaku satwa yang berada di dalamnya.

 

Paragraf 2

Indikasi Arahan Peraturan Zonasi Kawasan Budidaya

Pasal 78

Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) huruf a ditetapkan sebagai berikut :

  1. Dalam kawasan hutan produksi tidak diperkenankan adanya kegiatan budidaya kecuali kegiatan kehutanan dan pembangunan sistem jaringan prasarana wilayah dan bangunan terkait dengan pengelolaan budidaya hutan produksi;
  2. Kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi dapat dalihfungsikan untuk kegiatan lain di luar kehutanan setelah potensi hutan tersebut dimanfaatkan dan sesuai peraturan perundangan yang berlaku;
  3. Kegiatan kehutanan dalam kawasan hutan produksi tidak diperkenankan menimbulkan gangguan lingkungan seperti bencana alam;
  4. Kawasan hutan produksi tidak dapat dialihfungsikan untuk kegiatan lain di luar kehutanan;
  5. Sebelum kegiatan pengelolaan hutan produksi dilakukan wajib dilakukan studi kelayakan dan studi AMDAL yang hasilnya disetujui oleh tim evaluasi dari lembaga yang berwenang.

Pasal 79

Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan hutan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) huruf b ditetapkan sebagai berikut :

  1. Kegiatan pengusahaan hutan rakyat diperkenankan dilakukan terhadap lahan – lahan yang potensial dikembangkan di seluruh wilayah kabupaten dan kota;
  2. Kegiatan pengusahaan hutan rakyat tidak diperkenankan mengurangi fungsi lindung, sperti mengurangi keseimbangan tata air, dan lingkungan sekitarnya;
  3. Kegiatan dalam kawasan hutan rakyat tidak diperkenankan menimbulkan gangguan lingkungan seperti bencana alam, seperti longsor dan banjir;
  4. Pengelolaan hutan rakyat harus mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku;

e.    Pengusahaan hutan rakyat oleh badan hukum dilakukan harus dengan melibatkan masyarakat setempat;

f.     Kawasan hutan rakyat dapat dalihfungsikan untuk kegiatan lain setelah potensi hutan tersebut dimanfaatkan dan sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

Pasal 80

Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) huruf c ditetapkan sebagai berikut :

  1. Dalam kawasan perkebunan dan perkebunan rakyat tidak diperkenankan penanaman jenis tanaman perkebunan yang bersifat menyerap air dalam jumlah banyak, terutama kawasan perkebunan yang berlokasi di daerah hulu/kawasan resapan air;
  2. Bagi kawasan perkebunan besar tidak diperkenankan merubah jenis tanaman perkebunan yang tidak sesuai dengan perizinan yang diberikan;
  3. Dalam kawasan perkebunan besar dan perkebunan rakyat diperkenankan adanya bangunan yang bersifat mendukung kegiatan perkebunan dan jaringan prasarana wilayah;
  4. Alih fungsi kawasan perkebunan menjadi fungsi lainnya dapat dilakukan sepanjang sesuai dan mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  5. Sebelum kegiatan perkebunan besar dilakukan diwajibkan untuk dilakukan studi kelayakan dan studi AMDAL yang hasilnya disetujui oleh tim evaluasi dari lembaga yang berwenang;
  6. Kegiatan perkebunan tidak diperkenankan dilakukan di dalam kawasan lindung.

Pasal 81

Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) huruf d ditetapkan sebagai berikut :

  1. Kegiatan budidaya pertanian tanaman pangan lahan basah dan lahan kering tidak diperkenankan menggunakan lahan yang dikelola dengan mengabaikan kelestarian lingkungan, misalnya penggunaan pupuk yang menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, dan pengolahan tanah yang tidak memperhatikan aspek konservasi;
  2. Dalam pengelolaan pertanian tanaman pangan lahan basah tidak diperkenankan pemborosan penggunaan sumber air;
  3. Peruntukan budidaya pertanian pangan lahan basah dan lahan kering diperkenankan untuk dialihfungsikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kecuali lahan pertanian tanaman pangan yang telah ditetapkan dengan undang-undang;
  4. Pada kawasan budidaya pertanian diperkenankan adanya bangunan prasarana wilayah dan bangunan yang bersifat mendukung kegiatan pertanian;
  5. Dalam kawasan pertanian masih diperkenankan dilakukan kegiatan wisata alam secara terbatas, penelitian dan pendidikan;
  6. Kegiatan pertanian tidak diperkenankan dilakukan di dalam kawasan lindung.

Pasal 82

Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) huruf e ditetapkan sebagai berikut :

  1. Kawasan budidaya perikanan tidak diperkenankan berdekatan dengan kawasan yang bersifat polutif;
  2. Dalam kawasan perikanan masih diperkenankan adanya kegiatan lain  yang bersifat mendukung kegiatan perikanan dan pembangunan sistem jaringan prasarana sesuai ketentuan yang berlaku;
  3. Kawasan perikanan diperkenankan untuk dialihfungsikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  4. Dalam kawasan perikanan masih diperkenankan dilakukan kegiatan wisata alam secara terbatas, penelitian dan pendidikan;
  5. Kegiatan perikanan tidak diperkenankan dilakukan di dalam kawasan lindung.

Pasal 83

Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 58 ayat (2) huruf f ditetapkan sebagai berikut :

  1. Kegiatan usaha pertambangan sepenuhnya harus mengikuti ketentuan yang berlaku di bidang pertambangan;
  2. Kegiatan usaha pertambangan dilarang dilakukan tanpa izin dari  instansi/pejabat yang berwenang;
  3. Kawasan pascatambang wajib dilakukan rehabilitasi (reklamasi dan/atau revitalisasi) sehingga dapat digunakan kembali untuk kegiatan lain, seperti pertanian, kehutanan, dan pariwisata;
  4. Pada kawasan pertambangan diperkenankan adanya kegiatan lain  yang bersifat mendukung kegiatan pertambangan;
  5. Kegiatan permukiman diperkenankan secara terbatas untuk menunjang kegiatan pertambangan dengan tetap memperhatikan aspek-aspek keselamatan;
  6. Sebelum kegiatan pertambangan dilakukan wajib dilakukan studi kelayakan dan studi AMDAL yang hasilnya disetujui oleh tim evaluasi dari lembaga yang berwenang.

Pasal 84

Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) huruf g ditetapkan sebagai berikut :

  1. Untuk meningkatkan produktifitas dan kelestarian lingkungan pengembangan kawasan industri harus memperhatikan aspek ekologis;
  2. Lokasi kawasan industri tidak diperkenankan berbatasan langsung dengan kawasan permukiman;
  3. Pada kawasan industri diperkenankan adanya permukiman penunjang kegiatan industri yang dibangun sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
  4. Pada kawasan industri masih diperkenankan adanya sarana dan prasarana wilayah sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
  5. Pengembangan kawasan industri harus dilengkapi dengan jalur hijau (greenbelt) sebagai penyangga antar fungsi kawasan, dan sarana pengolahan limbah.
  6. Pengembangan zona industri yang terletak pada sepanjang jalan arteri atau kolektor harus dilengkapi dengan frontage road  untuk kelancaran aksesibilitas;
  7. Setiap kegiatan industri harus dilengkapi dengan upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan serta dilakukan studi AMDAL.

Pasal 85

Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) huruf h ditetapkan sebagai berikut :

  1. Pada kawasan pariwisata alam tidak diperkenankan dilakukan kegiatan yang dapat menyebabkan rusaknya kondisi alam terutama yang menjadi obyek wisata alam;
  2. Dalam kawasan pariwisata dilarang dibangun permukiman dan industri yang tidak terkait dengan kegiatan pariwisata;
  3. Dalam kawasan pariwisata diperkenankan adanya sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan pariwisata dan sistem prasarana wilayah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
  4. Pada kawasan pariwisata diperkenankan dilakukan penelitian dan pendidikan.
  5. Pada kawasan pariwisata alam tidak diperkenankan adanya bangunan lain kecuali bangunan pendukung kegiatan wisata alam;
  6. Pengembangan pariwisata harus dilengkapi dengan upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan serta studi AMDAL.

Pasal 86

Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) huruf i ditetapkan sebagai berikut :

  1. Peruntukan kawasan permukiman diperkenankan untuk dialihfungsikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  2. Pada kawasan permukiman diperkenankan adanya sarana dan prasarana pendukung fasilitas permukiman sesuai dengan petunjuk teknis dan peraturan yang berlaku;
  3. Dalam kawasan permukiman masih diperkenankan dibangun prasarana wilayah sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku;
  4. Kawasan permukiman harus dilengkapi dengan fasilitas sosial termasuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan;
  5. Dalam kawasan permukiman masih diperkenankan adanya kegiatan industri skala rumah tangga dan fasilitas sosial ekonomi lainnya dengan skala pelayanan lingkungan;
  6. Kawasan permukiman tidak diperkenankan dibangun di dalam kawasan lindung/konservasi dan lahan pertanian dengan irigasi teknis;
  7. Dalam kawasan permukiman tidak diperkenankan dikembangkan kegiatan yang mengganggu fungsi permukiman dan kelangsungan kehidupan sosial masyarakat.
  8. Pengembangan kawasan permukiman harus dilakukan sesuai ketentuan peraturan yang berlaku di bidang perumahan dan permukiman;
  9. Pembangunan hunian dan kegiatan lainnya di kawasan permukiman harus sesuai dengan peraturan teknis dan peraturan lainnya yang berlaku (KDB, KLB, sempadan bangunan, dan lain sebagainya).

Pasal 87

Indikasi arahan peraturan zonasi kawasan peruntukan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (2) huruf j ditetapkan sebagai berikut :

  1. Peruntukan kawasan diperkenankan untuk dialihfungsikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  2. Diperkenankan adanya sarana dan prasarana pendukung fasilitas peruntukan tersebut sesuai dengan petunjuk teknis dan peraturan yang berlaku.
  3. Alokasi peruntukan yang diperkenankan adalah lahan terbuka (darat dan perairan laut) yang belum secara khusus ditetapkan fungsi pemanfaatannya dan belum banyak dimanfaatkan oleh manusia serta memiliki akses yang memadai untuk pembangunan infrastruktur.
  4. Dilarang melakukan kegiatan yang merusak fungsi ekosistem daerah peruntukan.
  5. Pembangunan kawasan peruntukan lainnya harus sesuai dengan peraturan teknis dan peraturan lainnya yang berlaku (KDB, KLB, sempadan bangunan, dan lain sebagainya).
  6. Kegiatan pembangunan tidak diperkenankan dilakukan di dalam kawasan lindung.

 

 

Paragraf 3

Indikasi Arahan Peraturan Zonasi Sistem Nasional dan Sistem Provinsi

Pasal 88

Indikasi arahan peraturan zonasi sistem perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3) huruf a ditetapkan sebagai berikut :

a.    Fungsi dan peranan perkotaan yang bersangkutan;

b.    Karakteristik fisik perkotaan dan sosial budaya masyarakatnya;

c.    Standar teknik perencanaan yang berlaku;

d.    Pemerintah kabupaten/kota tidak diperkenankan merubah sistem perkotaan yang telah ditetapkan pada sistem nasional dan provinsi, kecuali atas usulan pemerintah kabupaten/kota dan disepakati bersama;

e.    Pemerintah kabupaten/kota wajib memelihara dan mengamankan sistem perkotaan nasional dan provinsi yang ada di wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan.

Pasal 89

Indikasi arahan peraturan zonasi sistem jaringan transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3) huruf b ditetapkan sebagai berikut :

a.    Transportasi darat :

–     Di sepanjang sistem jaringan jalan nasional dan provinsi tidak diperkenankan adanya kegiatan yang dapat menimbulkan hambatan lalu lintas regional;

–     Di sepanjang sistem jaringan jalan nasional dan provinsi tidak diperkenankan adanya akses langsung dari bangunan ke jalan;

–     Bangunan di sepanjang sistem jaringan jalan nasional dan provinsi harus memilki sempadan bangunan yang sesuai dengan ketentuan setengah rumija +1;

–     Lokasi terminal penumpang tipe A dan B diarahkan sebagai perpaduan antar moda yang sangat mempertimbangkan aksesibilitas dan mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku;

–     Pengembangan jaringan pelayanan angkutan orang harus berdasarkan kepada SAUM (Sistem Angkutan Umum Masal) serta mempertimbangkan tingkat keselamatan jalan;

–     Setiap pengembangan kawasan yang dapat mengadakan/ membangkitkan perjalanan harus membuat dokumen Andal Lalin (Analisis Dampak Lalu lintas).

b.    Transportasi laut :

–     Pelabuhan laut diarahkan memiliki kelengkapan fasilitas pendukung sesuai dengan fungsi dari pelabuhan tersebut; dan

–     Pelabuhan laut diarahkan untuk memiliki akses ke jalan arteri primer.

c.    Transportasi udara :

–    Memperhatikan Rencana Induk (RI)

–    Memperhatikan Daerah Lingkungan Kerja (DLKr)

–    Memperhatikan Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp)

–    Memperhatikan Batas Kawasan Kebisingan (BKK)

–     Memperhatikan Ketentuan Keselamatan Operasional Penerbangan (KKOP);

–     Pelabuhan udara diarahkan untuk memilki akses ke jalan arteri primer.

Pasal 90

Indikasi arahan peraturan zonasi sistem jaringan prasarana energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3) huruf c ditetapkan sebagai berikut : Pada ruang yang berada di bawah SUTUT dan SUTET tidak diperkenankan adanya bangunan permukiman, kecuali berada di kiri-kanan SUTUT dan SUTET sesuai ketentuan yang berlaku.

Pasal 91

Indikasi arahan peraturan zonasi sistem jaringan prasarana telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3) huruf d ditetapkan sebagai berikut :

a.    Ruang Bebas di sekitar menara berjari-jari minimum sama dengan tinggi menara;

b.    Diarahkan untuk menggunakan menara telekomunikasi secara bersama-sama diantara para penyedia layanan telekomunikasi (provider).

Pasal 92

Indikasi arahan peraturan zonasi sistem jaringan sumberdaya air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3) huruf e ditetapkan sebagaimana telah diatur pada arahan indikasi peraturan zonasi kawasan perlindungan setempat.

Pasal 93

Indikasi arahan peraturan zonasi sistem prasarana lingkungan (TPA regional) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3) huruf f ditetapkan sebagai berikut :

a.    TPA tidak diperkenankan terletak berdekatan dengan kawasan permukiman;

b.    Lokasi TPA harus didukung oleh studi AMDAL yang telah disepakati oleh instansi yang berwenang;

c.    Pengelolaan sampah dalam TPA dilakukan dengan sistem sanitary landfill sesuai ketentuan peraturan yang berlaku;

d.    Dalam lingkungan TPA disediakan prasarana penunjang pengelolaan sampah.

 

 

Bagian Ketiga

Arahan Perizinan

Pasal 94

(1)       Arahan perizinan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) huruf b merupakan acuan bagi pejabat yang berwenang dalam pemberian izin pemanfaatan ruang sesuai rencana struktur ruang dan pola ruang yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah ini;

(2)       Izin pemanfaatan ruang diberikan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan kewenangannya dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

(3)       Pemberian izin pemanfaatan ruang dilakukan menurut prosedur atau mekanisme sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

(4)       Izin pemanfaatan ruang yang memiliki dampak skala provinsi diberikan atau mendapat rekomendasi dari Gubernur;

(5)       Ketentuan lebih lanjut mengenai ketentuan perizinan wilayah provinsi diatur dengan peraturan Gubernur.

Bagian Keempat

Arahan Insentif dan Disinsentif

Pasal 95

(1)       Arahan insentif dan disinsentif sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) huruf c merupakan acuan bagi pejabat yang berwenang dalam pemberian insentif dan pengenaan disinsentif;

(2)       Arahan insentif dan disinsentif untuk wilayah provinsi Sumatera Barat meliputi :

a.  Arahan umum insentif-disinsentif; dan

b.  Arahan khusus insentif-disinsentif

(3)       Arahan umum sebagaiamana yang dimaksud ayat (2) huruf a berisikan arahan pemberlakuan insentif dan disinsentif untuk berbagai pemanfaatan ruang secara umum.

(4)       Arahan khusus sebagaiamana yang dimaksud ayat (2) huruf b ditujukan untuk pemberlakuan insentif dan disinsentif secara langsung pada jenis-jenis pemanfaatan ruang atau kawasan tertentu di wilayah provinsi Sumatera Barat.

(5)       Insentif diberikan apabila pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana  struktur ruang, rencana pola ruang, dan indikasi arahan peraturan zonasi  yang diatur dalam Peraturan Daerah ini;

(6)       Disinsentif dikenakan terhadap pemanfaatan ruang yang perlu dicegah,  dibatasi, atau dikurangi keberadaannya berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini;

(7)     Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dalam pemanfaatan ruang wilayah dilakukan oleh pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota dan kepada masyarakat (perorangan/kelompok);

(8)     Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dilakukan oleh instansi berwenang sesuai dengan kewenangannya;

(9)     Pemberian insentif dan pengenaan disinsentif dilakukan menurut prosedur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

(10)   Insentif dan pengenaan disinsentif diberikan oleh Gubernur;

(11)   Ketentuan lebih lanjut mengenai ketentuan pemberian insentif dan disinsentif diatur dengan peraturan daerah.

Paragraf 1

Arahan Umum Insentif-Disinsentif

Pasal 96

(1)   Pemberian insentif diberlakukan pada pemanfaatan ruang yang didorong perkembangannya dan sesuai dengan rencana tata ruang.

(2)   Pemberian disinsentif diberlakukan bagi kawasan yang dibatasi atau dikendalikan perkembangannya bahkan dilarang dikembangkan untuk kegiatan budidaya.

(3)   Arahan pemberian insentif sebagaimana yang dimaksud ayat (1) meliputi :

  1. Pemberian keringanan atau penundaan pajak (tax holiday) dan kemudahan proses perizinan;
  2. Penyediaan sarana dan prasarana kawasan oleh pemerintah untuk memperingan biaya investasi oleh pemohon izin;
  3. Pemberian kompensasi terhadap kawasan terbangun lama sebelum rencana tata ruang ditetapkan dan tidak sesuai tata ruang serta dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan;
  4. Pemberian kemudahan dalam perizinan untuk kegiatan yang menimbulkan dampak positif.

(4)   Arahan pemberian disinsentif sebagaimana yang dimaksud ayat (2) meliputi :

  1. Pengenaan pajak yang tinggi terhadap kegiatan yang berlokasi di daerah yang memiliki nilai ekonomi tinggi, seperti pusat kota, kawasan komersial, daerah yang memiliki tingkat kepadatan tinggi;
  2. Penolakan pemberian izin perpanjangan hak guna usaha, hak guna bangunan terhadap kegiatan yang terlanjur tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan peraturan zonasi;
  3. Peniadaan sarana dan prasarana bagi daerah yang tidak dipacu pengembangannya, atau pengembangannya dibatasi;
  4. Penolakan pemberian izin pemanfaatan ruang budidaya yang akan dilakukan di dalam kawasan lindung;

e.    Pencabutan izin yang sudah diberikan karena adanya perubahan pemanfaatan ruang budidaya menjadi lindung.

 

 

Paragraf 2

Arahan Khusus Insentif-Disinsentif

Pasal 97

(1)   Pemberian insentif dan disinsentif ditujukan pada pola ruang tertentu yang dinilai harus dilindungi fungsinya dan dihindari pemanfaatannya. Di wilayah Provinsi Sumatera Barat terdiri dua jenis pola ruang yang harus dilindungi dan dihindari pemanfaatannya yang tidak sesuai, yaitu :

a.  Pertanian pangan (khususnya pertanian lahan basah); dan

b.  Kawasan rawan bencana alam.

(2)   Arahan pemberian insentif sebagaimana yang dimaksud ayat (1) huruf a meliputi :

a.  Insentif fiskal; dan

b.  Insentif non-fiskal agar pemilik lahan tetap mengusahakan kegiatan pertanian pangan.

(3)   Pemberian insentif fiskal sebagaimana yang dimaksud ayat (2) huruf a meliputi :

a.  Penghapusan semua retribusi yang diberlakukan di kawasan pertanian pangan;

b.  Pengurangan atau penghapusan sama sekali PBB kawasan pertanian pangan produktif melalui mekanisme restitusi pajak oleh dana APBD.

(4)   Pemberian insentif non-fiskal sebagaimana yang dimaksud ayat (2) huruf b meliputi :

penyediaan prasarana pendukung produksi dan pemasaran produk.

(5)   Arahan pemberian disinsentif sebagaimana yang dimaksud ayat (1) huruf a meliputi : disinsentif non-fiskal, berupa tidak diberikannya sarana dan prasarana permukiman yang memungkinkan pengalihan fungsi lahan pertanian menjadi perumahan atau kegiatan komersial.

(6)   Arahan pemberian insentif dan disinsentif sebagaimana yang dimaksud ayat (1) huruf b hanya diberlakukan disinsentif non fiskal, meliputi :

a.  Pembatasan penyediaan prasarana dan sarana permukiman untuk mencegah perkembangan permukiman lebih lanjut;

c.  Penolakan pemberian prasarana dan sarana permukiman untuk kawasan yang belum dihuni penduduk; dan

b.  Penyediaan prasarana dan sarana permukiman hanya diperbolehkan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang sudah ada saja.

 

 

Bagian Kelima

Sanksi

Pasal 98

Pengenaan sanksi diberikan terhadap :

  1. Pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana struktur ruang dan pola ruang wilayah provinsi;
  2. Pelanggaran ketentuan indikasi arahan peraturan zonasi kawasan lindung, kawasan budidaya, sistem nasional dan provinsi;
  3. Pemanfaatan ruang tanpa izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan RTRWP;
  4. Pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan RTRWP;
  5. Pelanggaran ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang yang diterbitkan berdasarkan RTRWP;
  6. Pemanfataan ruang yang menghalangi akses terhadap kawasan yang  oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum; dan/atau
  7. Pemanfaatan ruang dengan izin yang diperoleh dengan prosedur yang  tidak benar dan/atau tidak sah.

Pasal 99

(1)    Terhadap pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 dapat dikenai sanksi pidana dan sanksi administratif.

(2)    Pengenaan sanksi pidana diatur berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3)    Sanksi administratif sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dapat berupa :

  1. Peringatan tertulis;
    1. Penghentian sementara kegiatan;
    2. Penghentian sementara pelayanan umum;
    3. Penutupan lokasi;
    4. Pencabutan izin;
    5. Pembatalan izin;
    6. Pembongkaran bangunan;
    7. Pemulihan fungsi ruang; dan/atau
    8. Denda administratif.

(4)   Ketentuan lebih lanjut mengenai ketentuan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Daerah tersendiri.

Pasal 100

Sanksi Perdata adalah tindakan pidana yang menimbulkan kerugian secara perdata akibat pelanggaran yang ada dan menimbulkan masalah pada perorangan atau masyarakat secara umum dan diterapkan sesuai peraturan perundangan-perundangan yang berlaku.

 

BAB  X

 KELEMBAGAAN

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 101

(1)   Fungsi kelembagaan pada penataan ruang untuk memantapkan koordinasi dan pengelolaan di semua tingkatan mengacu pada Keppres No. 62 Tahun 2000 tentang Koordinasi Penataan Ruang Nasional dengan terbentuknya Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN) dan Keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) No. 147 Tahun 2004 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah dengan pembentukan Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota.

(2)   BKPRN mengkoordinasikan penyelenggaraan penataan ruang nasional  dengan daerah agar RTRWP sejalan dengan RTRWN dan bertanggung jawab kepada Presiden.

(3)   BKPRD selanjutnya disebut dengan BKPRD Provinsi membantu Gubernur dalam mengkoordinasikan dan merumuskan kebijakan penataan ruang provinsi dan bertanggungjawab kepada Gubernur.

 

 

Bagian Kedua

Oeganisasi dan Tugas Kelembagaan Penataan Ruang Provinsi

Pasal 102

(1)   BKPRD Provinsi sbagaimana disebut pada Pasal 101 ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur dengan organisasi sebagai berikut :

a.  Penanggung Jawab :    Gubernur

b.  Ketua                        :    Wakil Gubernur

c.  Ketua Harian            :    Sekretaris Daerah Provinsi

d.  Sekretaris                 :    Kepala Bappeda Provinsi

e.  Wakil Sekretaris       :    Kepala Dinas Prasarana Jalan, Tata Ruang dan Permukiman

f    Anggota                    :    Disesuaikan dengan tingkat kebutuhan dan potensi daerah (dapat berasal dari dinas/instansi pemerintah daerah provinsi, masyarakat atau lembaga masyarakat, perorangan atau profesional, akademisi atau perguruan tinggi, dan lainnya sesuai kebutuhan)

(2)   BKPRD Provinsi mempunyai tugas sebagai berikut :

a.  Merumuskan berbagai kebijakan penyelenggaraan penataan ruang provinsi dengan memperhatikan kebijakan penataan ruang nasional dan kabupaten/kota;

b.  Mengkoordinasikan penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi;

c.              Mengkoordinasikan penyusunan Rencana Rinci Tata Ruang Kawasan sesuai dengan  kewenangan provinsi;

d. Mengintegrasikan dan memaduserasikan RTRW Provinsi dengan RTRWN, RTRW Kabupaten/Kota, Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis, RTRW Provinsi Perbatasan, serta kawasan tertentu lainnya;

e. Memaduserasikan RPJM dan tahunan yang dilakukan pemerintah provinsi, masyarakat dan dunia usaha dengan RTR;

f.   Melaksanakan kegiatan pengawasan yang meliputi pelaporan, evaluasi dan pemantauan penyelenggaraan pemanfaatan ruang;

g. Memberikan rekomendasi perizinan tata ruang provinsi;

h. Melakukan rekomendasi penertiban terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang;

i.   Mengoptimalkan peran serta masyarakat dalam perencanaan tata ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang,

j.   Mengembangkan informasi penataan ruang provinsi untuk kepentingan pengguna ruang di jajaran pemerintah, masyarakat dan swasta,

k. Mensosialisasikan dan menyebar luaskan informasi penataan ruang provinsi,

l.   Mengkoordinasikan penanganan dan penyelesaian masalah atau konflik yang timbul dalam penyelenggaraan penatan ruang baik di provinsi maupun di kabupaten kota dan memberikan pengarahan serta saran pemecahannya,

m. Memberikan rekomendasi guna memecahkan masalah atau konflik pemanfaatan ruang provinsi dan masalah atau konflik pemanfaatan ruang yang tidak dapat diselesaikan kab/kota;

n. Melaksanakan fasilitasi, supervisi, dan koordinasi dengan dinas/instansi provinsi, pemerintah kabupaten/kota, masyarakat dan dunia usaha berkaitan dengan penyelenggaraan penataan ruang;

o. Menterpadukan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang dengan kabupaten/kota dan provinsi sekitarnya;

p. Melakukan evaluasi tahunan atas kinerja penataan ruang provinsi;

q. Menjabarkan petunjuk gubernur berkenaan dengan pelaksanaan fungsi dan kewajiban koordinasi penyelenggaraan penataan ruang provinsi; dan

r,   Menyampaikan laporan pelaksanaan tugas BKPRD Provinsis ecara berkala kepada gubernur.

(3)   Untuk memperlancar tugas BKPRD Provinsi dibantu oleh:

a.  Sekretariat;

b.  Tim Teknis/Kelompok Kerja (Pokja) Perencanaan Tata Ruang; dan

c.  Tim Teknis/Kelompok Kerja (Pokja) Pengendalian Pemanfaatan Ruang.

(4)   Sekretariat sebagaimana dimaksud ayat (3) huruf a dipimpin oleh Kepala Bidang Bapeda Provinsi yang membidangi Tata Ruang, mempunyai tugas sebagai berikut :

  1. Menyiapkan bahan dalam rangka kelancaran tugas BKPRD Provinsi;
  2. Memfasilitasi terselenggaranya jadwal kerja kegiatan BKPRD Provinsi;
  3. Menyiapkan dan mengembangkan informasi tata ruang Provinsi; dan

d. Menerima pengaduan dari masyarakat berkaitan dengan terjadinya pelanggaran dalam penyelenggaraan penataan ruang.

(5)  Tim Teknis/ Pokja  Perencanaan Tata Ruang Provinsi sebagaimana dimaksud ayat (3) huruf b terdiri dari susunan anggota sebagai berikut :

  1. Ketua                 :   Kabid pada Bappeda yang mengurusi tata ruang
  2. Wakil Ketua       :   Ka bag pada Biro Hukum Provinsi
  3. Sekretaris          :   Kasubbid  pada Bappeda  Yang mengurusi Tata Ruang

d.  Anggota             :   Disesuaikan dengan kebutuhan, dan yang terkait dengan fungsi   penyusunan rencana tata ruang

(6)   Tim Teknis/ Pokja  Perencanaan Tata Ruang Provinsi sebagaimana dimaksud ayat (5) mempunyai tugas sebagai berikut :

  1. Memberikan masukan kepada BKPRD Provinsi dalam rangka perumusan kebijakan penataan ruang Provinsi;
  2. Mengkoordinasikan penyusunan Rencana Tata Ruang yang menjadi wewenang dan tanggung jawab Provinsi;
  3. Mengkoordinasikan dan melakukan fasilitasi serta supervisi  penyusunan rencana tata ruang yang menjadi wewenang dan tanggung jawab Pemerintah Kabupaten/Kota;
  4. Mengkoordinasikan penyusunan RTRW Provinsi dalam rangka sinkronisasi RTRW Provinsi yang berbatasan;
  5. Menginventarisasi dan mengkaji masalah-masalah yang timbul dalam perencanaan serta memberikan alternatif pemecahannya; dan

f.  Melaporkan kegiatan kepada BKPRD Provinsi serta menyampaikan usulan pemecahan/kebijaksanaan untuk dibahas dalam sidang pleno BKPRD Provinsi.

(7)   Tim Teknis/ Pokja  Pengendalian Pemanfaatan Ruang Provinsi sebagaimana dimaksud ayat (3) huruf c terdiri dari susunan anggota sebagai berikut :

a.  Ketua                 :   Kepala Bagian pada Biro Pemerintahan

b.  Wakil Ketua       :   Kepala Sub Dinas yang membidangi Tata Ruang

c.  Sekretaris          :   Kepala Sub Bidang pada Dinas yang membidangi Tata Ruang

d.  Anggota             :    Disesuaikan dengan kebutuhan, dan yang terkait dengan fungsi pengawasan, penertiban, dan perizinan pemanfaatan ruang.

(8)   Tim Teknis/ Pokja  Pengendalian Pemanfaatan Ruang Provinsi sebagaimana dimaksud ayat  (7) mempunyai tugas sebagai berikut :

  1. Memberikan masukan kepada BKPRD Provinsi dalam rangka perumusan kebijaksanaan pemanfaatan dan pengendalian  ruang Provinsi;
  2. Mengkoordinasikan pengawasan (pemantauan, evaluasi, dan pelaporan) terhadap rencana tata ruang;
  3. Mengkoordinasikan penertiban dan perizinan pemanfaatan ruang Provinsi;
  4. Menginventarisasi dan mengkaji masalah-masalah yang timbul dalam pemanfaatan dan pengendalian ruang serta memberikan alternatif pemecahannya; dan

e. Melaporkan kegiatan kepada BKPRD Provinsi serta menyampaikan usulan pemecahan/kebijaksanaan untuk dibahas dalam sidang pleno BKPRD Provinsi.

 

 

BAB  XI

 HAK, KEWAJIBAN DAN PERAN MASYARAKAT

Pasal 103

Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan berbagai unsur seperti masyarakat, pihak swasta, dunia usaha, kelompok profesi, LSM yang selanjutnya disebut peran masyarakat, memiliki hak dan kewajiban dalam penataan ruang, baik pada tahap penyusunan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang, maupun tahap pengendalian pemanfaatan ruang.

Pasal 104

Setiap orang dalam penataan ruang berhak :

  1. Mengetahui rencana tata ruang wilayah provinsi;
  2. Menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang;
  3. Memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang;
  4. Mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya;
  5. Mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat berwenang; dan
  6. Mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian.

Pasal 105

Setiap orang dalam penataan ruang wajib :

  1. Menaati RTRWP yang telah ditetapkan;
  2. Memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang;
  3. Mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang; dan
  4. Memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik umum.

Pasal 106

Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 105, dikenai sanksi administratif.

Pasal 107

(1)    Peran masyarakat dalam penataan ruang wilayah Provinsi Sumatera Barat meliputi setiap tahapan penataan ruang, yaitu perencanaan tata ruang, pemanfaatan rencana tata ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang;

(2)    Peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan dalam bentuk pemberian saran, pertimbangan, pendapat, tanggapan, keberatan, atau masukan;

Pasal 108

(1)       Peran masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang dapat berupa informasi, saran, pertimbangan, pendapat, tanggapan, keberatan, atau masukan;

(2)       Penyampaian informasi, saran, pertimbangan, pendapat, tanggapan, keberatan, atau masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara  tertulis dan/atau lisan kepada pemerintah daerah.

Pasal 109

Peran serta masyarakat dalam proses pemafaatan ruang dapat dilakukan melalui pelaksanaan program dan kegiatan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan RTRWP, meliputi :

  1. Pemanfaatan ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara berdasarkan RTRWP yang telah ditetapkan;
    1. Bantuan pemikiran dan pertimbangan berkenaan dengan pelaksanaan pemanfaatan ruang wilayah; dan
    2. Bantuan teknik dan pengelolaan dalam pemanfaatan ruang.

Pasal 110

Peran serta masyarakat dalam proses pengendalian pemanfaatan ruang dapat dilakukan melalui :

  1. Pengawasan dalam bentuk pemantauan terhadap pemanfaatan ruang dan pemberian informasi atau laporan pelaksanaan pemanfaatan ruang;
    1. Bantuan pemikiran atau pertimbangan berkenaan dengan penertiban pemanfaatan ruang.

 

BAB XII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 111

Pada saat berlakunya Peraturan Daerah ini, semua Peraturan Daerah yang berkaitan dengan penyelenggaraan penataan ruang di wilayah Provinsi tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Daerah ini.

 

BAB XIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 112

Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 13 Tahun 1994  tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Barat dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

 

Pasal 113

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Barat.

 

 

Ditetapkan           :    di Padang

Pada tanggal      :_____________

 

GUBERNUR SUMATERA BARAT

 

 

 

 

 

                                                                                                GAMAWAN FAUZI

Diundangkan       :   di Padang

Pada tanggal       :_______________

SEKRETARIS DAERAH PROVINSI  

                   SUMATERA BARAT

Posted: April 30, 2011 in Uncategorized

Baca entri selengkapnya »

jimmy setan

Posted: April 30, 2011 in Uncategorized